Kemerdekaan bagi Yuhina, dan teman-teman lainnya, bak jarum dalam hamparan jerami. Tidak mudah didapat. Kemerdakaan ibarat suara bising di jalan, yang tak pernah bisa didengar mereka yang tuli. Kemerdekaan takkan mereka rasakan apabila kita yang lebih dulu merasakannya tidak ambil andil dalam membantu mereka.
Pertanyaannya, apakah kemerdekaan hanya milik sebagian orang? Tentu tidak, karena para leluhur telah bersumpah: kemerdekaan untuk semua.
Leluhur juga mencita-citakan bangsa yang pintar, cerdas, dan tangguh mentalnya. Meski sampai saat ini masih jauh dari kata ideal. Masih banyak anak-anak bangsa yang belum dapat mencicipi pendidikan dengan layak.
Itu bisa dilihat dari kondisi bangunan sekolah yang tidak layak, anak-anak sekolah dengan sendal jepit, dan seragam sekolah yang lusuh, yang entah itu warisan dari mana. Sebuah pemandangan yang masih banyak ditemui di sekolah pelosok negeri ini, salah satunya di Pandeglang.
Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al Khoeriyyah merupakan salah satu bukti nyata akan hal tersebut. Sekolah yang berada pelosok pandeglang, tepatnya di Kampung Baru, Desa Waringin Jaya, Kecamatan Cigeulis Kabupaten Pandeglang, Banten. Sekolah ini berdiri pada tahun 2011 karena keinginan kuat masyarakatnya agar bisa "Merdeka" memberikan pendidikan untuk anak-anaknya.
Karena jarak dari kampung mereka ke sekolah negeri cukup jauh sekitar 4 kilometer dengan akses jalan yang berbatu sehingga tidak ada kendaraan umum yang bisa melintas dan harus ditempuh dengan berjalan kaki.
Sebanyak 127 Siswa MI yang berasal dari 7 kampung terdekat, jumlah yang tidak sedikit tentunya jika dibandingkan dengan jumlah siswa di sekolah negeri. Hal yang hperlu di garis bawahi adalah sekolah swasta juga memiliki kontribusi sangat besar bagi pendidikan anak di negeri ini.
Bahkan perjuangan untuk mendirikan sebuah sekolah swasta mungkin lebih berat karena minimnya bantuan dari negara, sehingga tidak jarang pengurus yayasan harus pontang panting mencari donatur untuk membiayai sekolah tersebut agar bisa tetap berjalan.
Di sisi lain kita masih ribut dalam urusan politik, urusan memilih pemimpin. Padahal, rasa-rasanya, kita juga belum memiliki metode yang utuh dalam memilih. Pada akhirnya, kita hanya memilih karena suka dan tidak memilih karena benci.
Cara memilih seperti itu berujung pada terbelah duanya masyarakat menjadi dua kubu antara yang pro dan kontra pemerintah.
Penerapan praktik devide et impera atau pecah belah ala Belanda terhadap Indonesia di masa lalu, seperti menemukan buktinya saat ini.