Ada banyak cara dalam memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, yang jatuh saban 17 Agustus. Mulai dari perlombaan hingga memaknai dengan perenungan.
Kemerdekaan sejatinya tidak saja sebatas perginya para penjajah di Tanah Air. Tapi lebih dari itu, ia adalah mewakili keutuhan bernegara dan berbangsa.
Di momen tahun ini setidaknya ada banyak hal-hal yang perlu kita renungkan. Karena perenungan kemerdekaan adalah cara memperingati, atau merayakan, dengan kesadaran paling mendalam.
Kemerdekaan diperingati oleh berbagai usia dengan berbagai cara. Yang muda membuat lomba. Bapak-bapak ikut lomba panjat pinang. Ibu-ibu heboh tarik tambang. Anak-anak lomba balap karung dengan riang. Tua-tua menyusuri jalan sambil mengayuh sepeda ontel kesayangan.
Tetapi tidak pada Yuhina Halmahera, yang masih terbaring di tempat tidurnya tepat di hari momen bersejarah.
Ia ingin sekali mengikuti lomba makan kerupuk, tapi apa daya membayangkan berjalan ke tempat perlombaan malah membuat semakin terpuruk.
Yuhina mengalami kecelakaan yang menyebabkan dirinya harus menggunakan kursi roda. Harapan untuk berjalan normal selalu ada, namun membutuhkan waktu satu atau paling lama dua tahun agar kakinya mampu menapak dengan kukuh lagi di tanah.
Kecelakaan itu terjadi beberapa bulan setelah lulusnya Yuhina dari sekolah menengah atas. Yuhina yang lolos seleksi masuk perguruan tinggi harus mendaftar ulang ke perguruan tinggi negeri ternama impiannya. Nahasnya, ketika menyebrang ia ditabrak oleh mobil yang melaju dengan cepat.
Semenjak kecelakaan itu, Yuhina menjadi seorang tunadaksa, penyandang disabilitas fisik. Menjadi penyandang disabilitas mengubah sebagian besar kehidupannya, terutama ketika ingin berjalan.
Ia membutuhkan usaha lebih dan bantuan orang lain hanya untuk berpindah dari kamarnya menuju ruang tamu.
Yuhina beropini, pemerintah masih saja belum mengerti apa arti disabilitas dan masih memandang mereka dengan sebelah mata. Padahal sudah seharusnya pemerintah memperhatikan betul dan menjadi fasilitator yang baik untuk para penyandang disabilitas.
Kemerdekaan bagi Yuhina, dan teman-teman lainnya, bak jarum dalam hamparan jerami. Tidak mudah didapat. Kemerdakaan ibarat suara bising di jalan, yang tak pernah bisa didengar mereka yang tuli. Kemerdekaan takkan mereka rasakan apabila kita yang lebih dulu merasakannya tidak ambil andil dalam membantu mereka.
Pertanyaannya, apakah kemerdekaan hanya milik sebagian orang? Tentu tidak, karena para leluhur telah bersumpah: kemerdekaan untuk semua.
Leluhur juga mencita-citakan bangsa yang pintar, cerdas, dan tangguh mentalnya. Meski sampai saat ini masih jauh dari kata ideal. Masih banyak anak-anak bangsa yang belum dapat mencicipi pendidikan dengan layak.
Itu bisa dilihat dari kondisi bangunan sekolah yang tidak layak, anak-anak sekolah dengan sendal jepit, dan seragam sekolah yang lusuh, yang entah itu warisan dari mana. Sebuah pemandangan yang masih banyak ditemui di sekolah pelosok negeri ini, salah satunya di Pandeglang.
Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al Khoeriyyah merupakan salah satu bukti nyata akan hal tersebut. Sekolah yang berada pelosok pandeglang, tepatnya di Kampung Baru, Desa Waringin Jaya, Kecamatan Cigeulis Kabupaten Pandeglang, Banten. Sekolah ini berdiri pada tahun 2011 karena keinginan kuat masyarakatnya agar bisa "Merdeka" memberikan pendidikan untuk anak-anaknya.
Karena jarak dari kampung mereka ke sekolah negeri cukup jauh sekitar 4 kilometer dengan akses jalan yang berbatu sehingga tidak ada kendaraan umum yang bisa melintas dan harus ditempuh dengan berjalan kaki.
Sebanyak 127 Siswa MI yang berasal dari 7 kampung terdekat, jumlah yang tidak sedikit tentunya jika dibandingkan dengan jumlah siswa di sekolah negeri. Hal yang hperlu di garis bawahi adalah sekolah swasta juga memiliki kontribusi sangat besar bagi pendidikan anak di negeri ini.
Bahkan perjuangan untuk mendirikan sebuah sekolah swasta mungkin lebih berat karena minimnya bantuan dari negara, sehingga tidak jarang pengurus yayasan harus pontang panting mencari donatur untuk membiayai sekolah tersebut agar bisa tetap berjalan.
Di sisi lain kita masih ribut dalam urusan politik, urusan memilih pemimpin. Padahal, rasa-rasanya, kita juga belum memiliki metode yang utuh dalam memilih. Pada akhirnya, kita hanya memilih karena suka dan tidak memilih karena benci.
Cara memilih seperti itu berujung pada terbelah duanya masyarakat menjadi dua kubu antara yang pro dan kontra pemerintah.
Penerapan praktik devide et impera atau pecah belah ala Belanda terhadap Indonesia di masa lalu, seperti menemukan buktinya saat ini.
Bangsa ini ternyata masih rapuh mentalnya, mudah sekali dikompori oleh pihak lain yang sebenarnya berkaki dua. Mereka inilah yang menginginkan Indonesia kembali berantakan lalu dengan mudah kembali menguasai segala kekayaan dan sumberdayanya.
Tapi bukan masyarakat Indonesia namanya kalau ia tak mampu merdeka sekaligus merevolusi dirinya sendiri. Itu bisa terlihat dari bocah bernama Johanis Andi Kalla alias Joni.
Joni mendadak tenar usai dirinya memanjat tiang bendera di tengah upacara kemerdekaan. Ia tidak terpaksa memanjat, ia lakukan dengan kesadaran dengan semangat patriotisme lantaran tali bendera terputus di tengah upacara.
Padahal si Joni tadinya sedang sakit perut, ia sedang terbaring di tenda dan tidak ikut upacara. Namun begitu tahu bendera tak bisa berkibar, ia lantas memanjat tiang tanpa bantuan dan pengaman. Di tengah-tengah memanjat pun Joni sempat sakit perut lagi. Tapi ia tetap memanjat. Bagi Joni, mungkin, NKRI harga mati.
Joni adalah Indonesia. Sakit perut Joni adalah sakit perut bangsa. Putusnya tali tiang bendera adalah putusnya keberagaman. Dan panjatan tiang Joni adalah yang mesti kita tiru, seberapa tinggi tiang itu, seberapa sakitnya perut, demi berkibarnya Merah Putih, adalah bukan halangan. Dan itu  semua demi (lebih) merdekanya Indonesia.
(ibs)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H