"Yaaa...maaf," rajukku sekenanya.
"Makanyaaa, yuks..." kali ini Pram menggandeng tanganku lembut.
"Senyum dooong..," Pram masih sempatnya memperhatikan wajahku.Â
Aku tersenyum pahit. Sebentar lagi aku akan terpisah jarak, ruang dan waktu dengan lelaki yang hampir dua tahun telah menjadi sosok terdekatku dengan kesabaran dan kedewasaannya.Â
"Indi, permohonan pindahku ke Semarang dipenuhi oleh perusahaan, karena di tempat itu kebetulan memang sedang memerlukan karyawan seperti bidang yang kukuasai," Joe memandangku dalam.
Â
"Hanya untuk itu, kamu menemuiku?" nadaku mungkin terdengar aneh bahkan oleh diriku sendiri. Â
"In...mengerti sedikit saja untukku. Ibuku sudah tua  dan kakakku - satu-satunya- sedang tak berdaya melanjutkan usaha Bapak di Surabaya  karena sakit yang diderita. Jadi aku harus pulang untuk merawat ibuku sekalian bantu kakak dan terutama kerja di perusaahnku saat ini," sambungnya terbata-bata.
"Dan..kamu pikir Raha -Surabaya itu dekat? Kamu memang ga mau serius  dalam hubungan kita selanjutnya," suaraku mulai berat menahan tangis.Â
"Tapi kan kita sudah punya rencana tahun depan menikah,Indi. Aku akan datang menjemput dan menikahimu. Bersabarlah sebentar, sayang.." Joe meraih tubuhku dan membenamkannya di pelukan. Aku mulai terisak.
"Selama setahun ini, apa aku bisa tenang tanpamu di sisiku? Bukankah ada Febi , mantan pacarmu di kota itu..." aku mulai gamang dengan diriku sendiri.Â
Aku tahu nama Febi karena secara tak sengaja aku pernah mendengar percakapan di telepon di awal kami pacaran. Pembicaraan mengarah pada marahnya Joe terhadap Febi. Setelah kudesak, Joe mengakui siapa Febi yang ternyata ingin kembali padanya, padahal dulu Febilah yang tidak setia dan memutuskan hubungannya dengan Joe. Tanpa pikir panjang, aku meminta Joe mengganti nomor telponnya.Â