Mohon tunggu...
LuhPutu Udayati
LuhPutu Udayati Mohon Tunggu... Guru - ora et labora

Semua ada waktunya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Damar Mencintai Wulan

27 Juni 2020   21:43 Diperbarui: 27 Juni 2020   21:52 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kata-kata sepertinya perlu ruang dan waktu untuk menghentikan setiap perasaan yang ada, tapi Wulan memilih diam. Untuk apa setiap kenangan harus ditata ulang, jika tak satu pun ingatan turut serta meriuhkan rasa? 

Sore masih membias kemerahan, ketika didapatinya perempuan itu tengah menyiram kebun bunga di halamannya. Bunga-bunga yang ditanam banyak bermekaran pada musim seperti ini, saat hujan lambat laun berganti kemarau. 

Lama dipandangnya perempuan dengan tubuh mungil yang senantiasa dan selalu ingin direngkuhnya. Dipandangnya lekat-lekat. Perempuan itu bersenandung bersama percikan air. Sungguh, perempuan itu tak  menyadari sepasang mata elang tengah leluasa menikmati aktivitasnya.

"Soreee,Wulan..." 

Wulan terlihat kaget saat menyadari lelaki itu sangat tiba-tiba berada di depannya. Kadang inginkan suasana seperti ini, tetapi lebih sering dia memilih tak ingin bertemu dalam situasi apapun.

"Sore juga, Damar," datar sekali balasannya.

"Silakan duduk, tapi maaf, Aku ga bisa menemani. Tanggung nih," begitu saja kalimat itu meluncur tanpa bersitatap.

Damar tersenyum. Dia sugguh menyadari kehadirannya masih belum diterima oleh Wulan. Tapi dia  juga tidak  dapat memaksakan kehendak, jika mengingat-ingat kesalahan yang dilakukannya sendiri. Karena hal itulah dan rasa rindu yang mencekam membuatnya memberanikan diri mendatangi Wulan.  Biarlah Wulan masih terlihat marah, setidaknya sebentar lagi wulan mandi dan pasti akan ada waktu bagi Damar untuk menjelaskan semua kesalahan yang dilakukan, jika itu benar sebuah kesalahan.

Aku akan sabar menunggumu selesaikan kegiatan soremu,batin Damar. Dia sengaja tak melanjutkan obrolan lagi, setidaknya menjaga suasana agar Wulan tidak berubah pikiran dan mengusirnya. Hmmm....

Hampir lima belas menit Wulan mendiamkan Damar. Damar pun lebih memilih mengulik-ulik layar handphone, tentu setiap saat ekor matanya mengikuti pergerakan langkah Wulan. Entah apa di benak masing-masing. Hanya hati mereka yang tahu.

"Adudududu...Wulan, ada tamu bukannya diajak ngobrol,malah tetep aja nyiram bunga,"  Bu Retno muncul tergopoh-gopoh dari ruang tamu.

Wulan menutup kran dan mulai menggulung selang air.

"Bukan tamu. Hanya teman, Mam,"

Damar bahagia mendengar kalimat tersebut. Entahlah.

Damar mendekati Bu Retno dan menyalaminya.

"Selamat sore,tante. Apa kabar?"

"Sore juga. Kabar tante baik, seperti yang kamu lihat?" tawanya renyah membalas salam Damar.

"Sepertinya lama tidak main ke rumah,ya ?" 

"Sibuk sama pekerjaan rupanya?" Bu Retno tidak memberiku kesempatan menjawab. Sementara kulihat Wulan masuk ke rumah. Kuhela nafas. Hmmm, tak sedikitpun wulan menganggapku ada di sini. 

Ibu Retno mempersilakan aku masuk ke ruang tamu.

"Duduk deh, sambil nunggu Wulan selesai mandi,"Ia  mempersilakanku. 

"Sebentar ya, tante minta tolong keponakan tante buatkan minum untukmu."

Sejenak aku menikmati lagi suasana ruang tamu ini, pertengkaran kecil dengan Wulan membuatku tak pernah lagi sampai di ruangan ini. 

Aku tersenyum, berharap setelah ini, semua akan menjadi damai dan aku dapat mencintai Wulan lagi, karena memang tak pernah ada kata putus di antara kami. Hanya pertengkaran kecil. Hanya.

Bu Retno kembali hadir bersama seorang perempuan yang membawakanku segelas minuman. Tapi,duh...setikam sesal menjajah ulu hatiku.

"Ini  Rara, keponakan tante. Sepupunya Wulan."

Aku limbung oleh kesalahanku sendiri.

Ingatanku menderas pada kejadian sore hari, persis sebulan lalu, saat Rara menghubungiku lewat Video Call WhatsApp. 

Saat itu, Hapeku tergeletak di atas meja kerja. Aku belum sempat memasukkannya ke tas kerja, saat membereskan sisa pekerjaan. Biasanya, pulang kerja kami menyempatkan makan malam berdua, sambil berbincang tentang pekerjaan atau apa saja. Saat itulah, Wulan sempat melihat ke layar hape dan nafasnya memburu menahan amarah juga cemburu. 

"Jawab, siapa dia?"

"Hanya teman." jawabku sekenanya. 

"Teman? Temankah jika di belakang nama itu tercantum kata sayang?" 

Sore itu, sore yang pecah oleh pertengkaran juga sore penghabisan, karena tak pernah lagi aku diberi kesempatan membincangkan hal ini. Wulan memilih diam bahkan menghindar dan segala upaya untuk tak bertemu denganku. Kuat sekali hatinya. Sementara aku?

Sungguh, sore ini, menjawabi semuanya. Segalanya. Bersamaan dengan kulihat gemetar tangan Rara meletakkan segelas es jeruk  di depan mejaku. Kukutuki diriku sendiri. Aku bergegas memilih pulang sambil kuseruput sedikit es jeruk, menghormati kebaikan Bu Retno. 

Maafkan saya,Bu Retno, batinku sendu.

Maafkan aku,Wulandari...

Damar mencintai Wulan. Tapi Wulan tidak lagiiii...

Cinta tak perlu penjelasan, hanya rasa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun