Mohon tunggu...
Kompasiana
Kompasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Akun Resmi

Akun resmi untuk informasi, pengumuman, dan segala hal terkait Kompasiana. Email: kompasiana@kompasiana.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hukum Mati Bandar Narkoba, Perlukah?

27 Juni 2015   18:32 Diperbarui: 27 Juni 2015   18:32 1630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Tali gantung, simbol hukuman mati

sumber ilustrasi/kompas.com

 Pada Rabu (28/4) dini hari lalu, suasana mencekam menyelimuti Nusakambangan seiring dengan makin ketatnya pengawasan di kawasan tersebut, terutama di LP Besi, tempat terpidana mati narkoba diisolasi. Tentangan dan ancaman dari Australia, Brasil, Belanda, dan terakhir Perancis yang warganya termasuk di antara 9 sembilan terpidana mati narkoba ternyata tak menggentarkan nyali pemerintah untuk tetap melaksanakan eksekusi mati.

Banyak tanggapan beragam yang muncul terkait eksekusi ini, Apa pun risikonya, hukuman mati terhadap terpidana mati narkoba harus tetap dilaksanakan, seperti yang kita ketahui bersama, bahwa Presiden Jokowi telah menyatakan bahwa tidak akan ada tindakan kompromi bagi terpidana mati narkoba karena pelaku perusak generasi bangsa itu sangat pantas dipotong hak hidupnya oleh Negara.

Setidaknya ada 3 framing yang dapat ditangkap dari topik pilihan Eksekusi Mati Bandar Narkoba, yang ramai dituliskan Kompasianer sepanjang Maret, April, dan Mei. Di antaranya adalah sebagai berikut.

1. Nyali Jokowi dan Intervensi Asing

Pidato Jokowi atas tanggapannya terhadap Australia yang menganggap 2 Hakim kasus Bali Nine bermasalah

Sumber Ilustrasi/Kompas.com

Uji Nyali Presiden Jokowi dalam Eksekusi Mati

Kompasianer Wahyu mencoba menjelaskan/memberikan gambaran kepada kita tentang posisi Presiden, sosok pengambil keputusan penting. Dari banyaknya tekanan dari berbagai pihak terkait keputusannya mengeksekusi mati 9 terpidana kasus narkoba, di situlah nyali Jokowi sedang diuji. Sebab, bagaimana tidak, tiga negara besar seperti Perancis, Australia, dan Brasil sudah bersiap untuk memberikan sanksi terhadap Indonesia. Dipelopori oleh Presiden Perancis Francois Hollande yang tengah memperjuangkan salah satu warga negaranya bernama Serge Areski Atlaoui dari regu tembak, belakangan ia menggandeng Perdana Menteri Australia Tony Abbott dan Presiden Brasil, Dilma Rousseff untuk bersama- sama menekan Pemerintah RI. Ancaman yang dilontarkan adalah bila eksekusi tetap dilaksanakan, hubungan bilateral kedua negara akan dibekukan.

Nilai Positif Penundaan Eksekusi

Australia terus berusaha membebaskan dua warganya dari hukuman mati. Terlihat bahwa PM Australia Tony Abbott yang dibantu Menlu Julie Bishop terus dengan gencar melakukan lobi politik bahkan tekanan terhadap Indonesia, mulai dari Kiriman Surat terbuka sampai dengan sindiran-sindiran bala bantuan yang pernah diberikan.

Kita paham bahwa sudut pandang PM Abbott dengan Presiden Jokowi merupakan masalah beda prinsip yang sulit dipertemukan. Presiden Jokowi bertahan sebagai kepala negara dengan keputusan bahwa hukuman mati adalah hukum positif di Indonesia terkait kejahatan narkoba, dalam kondisi negara darurat narkoba. Jelas, di sini dibutuhkan ketegaran, "Negara" tidak boleh kalah. Kalau mengalah dengan Australia, sama artinya Indonesia akan kalah dengan mafia narkoba.

Begitu pula dengan PM. Abbot, atau siapa pun pemimpinnya, tentu sangat berat hati warga negara dibunuh/mati di luar wilayahnya.

Prayitno Ramelan, dalam artikelnya seperti yang di atas, berusaha menjelaskan peristiwa-peristiwa yang terjadi pasca pemutusan hukuman mati melalui kacamata intelijen, bahwa ada sebab akibat terkait sebuah peristiwa dari penundaan ekseskusi mati tersebut.

Koin untuk Australia dan Rasionalisasi yang Gagal

Kompasianer Nararya dalam artikelnya ini, menanggapi dengan kritis terkait munculnya kegiatan #koin untuk Australia yang sempat booming beberapa bulan lalu. Menurutnya, hal tersebut tidak perlu ditanggapi dengan serius sebab seruan yang pernah diucapkan PM Tonny ABbot terkait bantuan tsunami Aceh merupakan ucapan yang tidak rasional.

Seperti yang kita ketahui, akibat sindiran Australia terkait dengan bala bantuan yang pernah mereka berikan pada Indonesia beberapa tahun yang lalu, muncul beragam tanggapan dari masyarakat Indonesia. Di antaranya adalah muncul gerakan #koinforaustralia. Walaupun sampai akhirnya receh yang terkumpul tidak akan cukup mengangganti jutaan dollar uang bantuan yang telah diberikan Australia, fenomena #koinforasutralia ditanggapi menarik oleh Kompasianer dalam artikel “Koin untuk Australia Rasionalisasi yang Gagal”.

Tampak bahwa Abbott sedang melakukan rasionalisasi "pemberian" dua arah. Ke arah pemerintah Indonesia, ia mencoba membangkitkan ingatan kita akan "pemberian" Australia saat terjadi tsunami dulu untuk menciptakan behavior control. Tetapi bukan hanya itu. Secara politis, Abbott harus membuat move yang memperlihatkan keunggulannya mempertahankan kursi perdana menteri. Dan ini berarti, sama seperti rakyat dan pemerintah Indonesia, rakyat Australia pun sedang ada dalam bidikan behavior control-nya Abbott.

Surat Terbuka untuk Anggun C. Sasmi

Sama seperti Australia, Perancis pun tidak mau kalah. Mereka tetap ambil bagian dalam protes terhadap pemerintah Indonesia dan berharap 3 warga negaranya yang telah divonis mati oleh pengadilan Indonesia dibebaskan atas nama kemanusiaan. Dalam demo yang berlangsung di Perancis, muncullah sosok Anggun dalam barisan para demonstran, yang kemudian menuliskan surat keberatan atas vonis yang dilakukan pengadilan Indonesia. Surat yang dituliskan Anggun kepada Presiden Jokowi mendapat banyak cibiran dan balasan, salah satunya surat terbuka yang dituliskan oleh Kompasianer Ayu Utami, untuk Anggun C Sasmi.

Dalam surat tersebut, Ayu Utami sangat menyayangkan sikap Anggun yang hanya mempedulikan kesedihan keluarga terpidana mati, tetapi tidak mempedulikan Jutaan keluarga yang anaknya ketergantungan Narkoba. “Oke kalau yang anda pikirkan adalah nasib keluarga, anak dan istri dari Bapak Serge Atlaoui. Tapi pernahkan anda juga memikirkan bagaimana nasib dari keluarga pecandu Narkoba? Coba bayangkan mbak. Bayangkan.! Tidak hanya 1 keluarga tapi jutaan keluarga akan merasa tersayat hatinya jika tau bahwa ada keluarganya yang terjerat narkoba. Miris bukan?

2. Respons Pasca Eksekusi Mati

Wisatawan asing yang sedang berjalan-jalan di pantai bali

sumber ilustrasi/travel.kompascom

Ribuan Turis Australia tetap Menyerbu Bali

Akibat tidak dikabulkannya grasi Australia terhadap warga negaranya yang mendapat vonis hukuman mati di Indonesia, warga (netizen) Australia geram. Sebagai pelampiasannya, warga Australia menyuarakan aspirasi mereka di jagat Twitter dengan hashtag #BoycottIndonesia dan #BoycottBali.

Hashtag #BoycottIndonesia dan #BoycottBali merupakan sikap warga Australia yang berjanji tidak akan mengunjungi Indonesia atau Bali. Kenapa Bali? Karena Bali dikenal dengan tempat wisata yang paling digemari para turis asing, termasuk Australia. Sebuah Akun dengan nama Flicsh berkicau: “Bali telah mati di hati saya dan ribuan orang lainnya #boycottbali #boycottIndonesia”.

Dan tidak cukup di Twitter, sebuah Page Facebook pun telah dibuat dan di-like oleh 10.000 orang. Page tersebut bernama Boycott Bali for The Boys. Benarkah sedemikian seramnya, sedemikian seriusnya mereka memboikot Bali, tak akan mengunjungi Bali sebagai salah satu destinasi wisata internasional? Ternyata tidak. Wisatawan internasional (Australia) masih tetap banyak yang mengunjungi Indonesia (Bali).

Kompasianer Abd. Ghofar menjelaskan ancaman Australia ini. Menurutnya, ancaman itu hanya gerentakan Australia. Turis asing maupun yang berasal dari Australia tetep ramai mengunjungi Bali pasca eksekusi mati.

Sikap Masyarakat Australia terhadap Indonesia Pasca Hukuman Mati

Kompasianer Roony Noor  mencoba memberikan gambaran kepada kita tentang pemberitaan media pasca eksekusi. Menurutnya, ketegangan sudah mulai menurun, gonjang-ganjing emosi dan politik nampaknya sudah mulai disikapi dengan rasional. Seperti yang kita ketahui, banyak media cetak telah berusaha membangkitkan kembali sentimen akan pelaksanaan hukuman mati ini, tetapi tidak berdampak menghebohkan dan memanaskan suasana lagi. Bahkan, surat terbuka ibu Sukumaran kepada Presiden Jokowi sekalipun tidak banyak mendapat reaksi dari masyarakat.

Selain itu, pemberitaan tentang dua warga Australia lainnya yang sedang menghadapi persidangan penyelundupan narkoba di Malaysia dan China mulai mendominasi media cetak dan elektronik. Jika keduanya terbukti bersalah di pengadilan, mereka akan dijatuhi hukuman mati. Mungkin setelah melewati gonjang-ganjing emosi dan politik, sudah saatnya untuk berpikir lebih rasional dan menyadari bahwa walaupun terdapat perbedaan Indonesia dan Australia, sebagai negara bertetangga dekat, tetap saling membutuhkan.

Mereka yang Untung dan Buntung Pasca Eksekusi

Ardi Winata Tobing mencoba menjelaskan tentang mereka-mereka yang merasa diuntungkan dan rugi pasca eksekusi. Ada kekalahan politik dan kepentingan-kepentingan yang akhirnya gagal menekan pembatalan eksekusi. Seperti Ban Ki-moon dan lembaga yang dipimpinnya, PBB, bisa saja semakin tercoreng akibat perlakuan tak adil yang ia lakukan. Apalagi sebelumnya kita bisa mendengar jelas riuh tepuk tangan para hadirin dari negara di Benua Asia dan Afrika menyambut pidato Jokowi yang berisi kritik keras terhadap kinerja PBB. Itu jadi bukti, PBB di bawah Ban Ki-moon kurang terlihat “cantik” di mata banyak pihak.

3. Mukjizat Marry Jane

Poster bergambar wajah Marry Jane yang dibawa berdemo didepan Istana Negara

Sumber Ilustrasi/kompas.com

(Rabu, 29 April 2015) dini hari, suasana terlihat ramai di Lembaga Pemasyarakatan di Nusakambangan, Cilacap Jawa Tengah. Terdapat 12 mobil ambulans yang berisi 9 peti jenazah untuk para terpidana mati. Ke-9 terpidana mati sudah berada di dalam. Myuran, Andrew Chan, Marry Jane, Martin Anderson, Zainal Abidin, Raheem, Rodrigo, Sylvster, dan Okwudilli, sudah menunggu eksekusi berlangsung. Akan tetapi setelah usai, informasi terbaru menyatakan bahwa ada 1 Terpidana ditangguhkan hukumannya atau tidak jadi dieksekusi. Adalah Marry Jane, seorang kurir yang merupakan warga negara Filipina. Marry Jane ditangkap di Bandara Adisucipto Yogyakarta karena diduga akan menyelundupkan 5,7 kg heroin.

Berbeda dengan ke-8 tersangka lain, banyak masyarakat yang simpati terhadap Marry Jane (Penentapan tersangka). Sebab, banyak yang berpendapat bahwa Marry Jane hanyalah seorang kurir dan juga korban human trafficking.

Mary Jane Harus Dibebaskan dari Hukuman Mati jika Berperan sebagai Alat atau Instrumen dari Doen Plegen

Jika benar kesaksian Maria Kristina Sergio yang menyatakan bahwa Mary Jane hanya alat dan bukan pemilik heroin tersebut, maka Mary Jane sudah sepantasnya tidak dihukum dan malahan harus dibesaskan jika dia adalah alat. Dan sebaliknya, yang harus dihukum adalah orang yg menyuru Mary Jane yg dikenal sebagai (Doen Plegen). Doen Plegen adalah seseorang yang ingin melakukan tindak pidana, tetapi tidak melakukannya sendiri melainkan menggunakan atau menyuruh orang lain, alam artian orang disuruh tidak bisa menolak atau menentang kehendak orang yang menyuruh melakukan karena dia hanya intrumen belaka atau alat. Artinya, Marry Jane hanya dijadikan alat, kaum yang tidak tau apa-apa, hanya korban dari permainan para jaringan kartel narkoba.

Reidnash, Layakkah Dihukum Mati?

Siapa pun di antara kita, tentu tidak akan terima jika kita saudara atau teman kita yang tidak bersalah diperlakukan seperti Marry Jane (Hukum Mati). Maka tidak heran, begitu banyak dukungan yang bermunculan dalam upaya penangguhan eksekusi mati tersebut. Marry Jane dengan status sebagai seorang kurir narkoba (di beberapa media malah menjulukinya sebagai gembong alias ratu-nya narkoba) dalam penjelasan lewat email menyebutkan yang bersangkutan menjadi kurir tanpa sepengetahuannya, ditipu dengan iming-iming pekerjaan palsu, dibekali heroin secara sembunyi-sembunyi, dan diarahkan pergi ke Indonesia. Setelah ditangkap, Marry Jane diadili tanpa dipenuhi hak-haknya untuk dapat berbicara dalam bahasanya.

Marry Jane merupakan potret buram kaum marjinal, yang hanya dijadikan alas tindas oleh sistem budaya patriakis. Akhirnya, setelah semua berlalu, grasi hukuman Marry Jane ditangguhkan. Kita pun berharap tidak ada lagi korban-korban seperti Marry Jane di luar sana.

Kompasianer Edi Abdullah dan Reidnash Heesa sependapat bahwa sebaiknya Hukuman mati Marry Jane ditangguhkan. Ini berkaitan dengan, pertama: Proses persidangan tidak adil, haknya sebagai terpidana asing tidak dipenuhi, misal, diberikan pasilitas penerjemah atau bahasa-bahasa yang dapat ia mengerti. Yang Kedua, Marry jane hanyalah kurir perdagangan manusia yang dilakukan oleh mafia-mafia Narkoba. 

Ada yang beranggapan bahwa tujuan hukuman mati adalah untuk menimbulkan efek jera. Ada pula yang berpendapat bahwa hukuman mati bukanlah obat permanen yang menyembuhkan, ia hanya berupa bius yang hanya mampu bertahan sebentar. Terlepas dari setuju atau tidaknya hukuman mati diterapkan, kita sepakat bahwa yang terpenting adalah harus adanya keberanian dan kejelian dari pemerintah dalam mengambil keputusan, apalagi yang berkaitan dengan hak hidup orang banyak.

(KML)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun