Akibat tidak dikabulkannya grasi Australia terhadap warga negaranya yang mendapat vonis hukuman mati di Indonesia, warga (netizen) Australia geram. Sebagai pelampiasannya, warga Australia menyuarakan aspirasi mereka di jagat Twitter dengan hashtag #BoycottIndonesia dan #BoycottBali.
Hashtag #BoycottIndonesia dan #BoycottBali merupakan sikap warga Australia yang berjanji tidak akan mengunjungi Indonesia atau Bali. Kenapa Bali? Karena Bali dikenal dengan tempat wisata yang paling digemari para turis asing, termasuk Australia. Sebuah Akun dengan nama Flicsh berkicau: “Bali telah mati di hati saya dan ribuan orang lainnya #boycottbali #boycottIndonesia”.
Dan tidak cukup di Twitter, sebuah Page Facebook pun telah dibuat dan di-like oleh 10.000 orang. Page tersebut bernama Boycott Bali for The Boys. Benarkah sedemikian seramnya, sedemikian seriusnya mereka memboikot Bali, tak akan mengunjungi Bali sebagai salah satu destinasi wisata internasional? Ternyata tidak. Wisatawan internasional (Australia) masih tetap banyak yang mengunjungi Indonesia (Bali).
Kompasianer Abd. Ghofar menjelaskan ancaman Australia ini. Menurutnya, ancaman itu hanya gerentakan Australia. Turis asing maupun yang berasal dari Australia tetep ramai mengunjungi Bali pasca eksekusi mati.
Sikap Masyarakat Australia terhadap Indonesia Pasca Hukuman Mati
Kompasianer Roony Noor mencoba memberikan gambaran kepada kita tentang pemberitaan media pasca eksekusi. Menurutnya, ketegangan sudah mulai menurun, gonjang-ganjing emosi dan politik nampaknya sudah mulai disikapi dengan rasional. Seperti yang kita ketahui, banyak media cetak telah berusaha membangkitkan kembali sentimen akan pelaksanaan hukuman mati ini, tetapi tidak berdampak menghebohkan dan memanaskan suasana lagi. Bahkan, surat terbuka ibu Sukumaran kepada Presiden Jokowi sekalipun tidak banyak mendapat reaksi dari masyarakat.
Selain itu, pemberitaan tentang dua warga Australia lainnya yang sedang menghadapi persidangan penyelundupan narkoba di Malaysia dan China mulai mendominasi media cetak dan elektronik. Jika keduanya terbukti bersalah di pengadilan, mereka akan dijatuhi hukuman mati. Mungkin setelah melewati gonjang-ganjing emosi dan politik, sudah saatnya untuk berpikir lebih rasional dan menyadari bahwa walaupun terdapat perbedaan Indonesia dan Australia, sebagai negara bertetangga dekat, tetap saling membutuhkan.
Mereka yang Untung dan Buntung Pasca Eksekusi
Ardi Winata Tobing mencoba menjelaskan tentang mereka-mereka yang merasa diuntungkan dan rugi pasca eksekusi. Ada kekalahan politik dan kepentingan-kepentingan yang akhirnya gagal menekan pembatalan eksekusi. Seperti Ban Ki-moon dan lembaga yang dipimpinnya, PBB, bisa saja semakin tercoreng akibat perlakuan tak adil yang ia lakukan. Apalagi sebelumnya kita bisa mendengar jelas riuh tepuk tangan para hadirin dari negara di Benua Asia dan Afrika menyambut pidato Jokowi yang berisi kritik keras terhadap kinerja PBB. Itu jadi bukti, PBB di bawah Ban Ki-moon kurang terlihat “cantik” di mata banyak pihak.
3. Mukjizat Marry Jane
Poster bergambar wajah Marry Jane yang dibawa berdemo didepan Istana Negara
Sumber Ilustrasi/kompas.com
(Rabu, 29 April 2015) dini hari, suasana terlihat ramai di Lembaga Pemasyarakatan di Nusakambangan, Cilacap Jawa Tengah. Terdapat 12 mobil ambulans yang berisi 9 peti jenazah untuk para terpidana mati. Ke-9 terpidana mati sudah berada di dalam. Myuran, Andrew Chan, Marry Jane, Martin Anderson, Zainal Abidin, Raheem, Rodrigo, Sylvster, dan Okwudilli, sudah menunggu eksekusi berlangsung. Akan tetapi setelah usai, informasi terbaru menyatakan bahwa ada 1 Terpidana ditangguhkan hukumannya atau tidak jadi dieksekusi. Adalah Marry Jane, seorang kurir yang merupakan warga negara Filipina. Marry Jane ditangkap di Bandara Adisucipto Yogyakarta karena diduga akan menyelundupkan 5,7 kg heroin.