Selain untuk mengenang sang kakak, perpustakaan mini itu juga diwujudkan untuk mendorong generasi muda setempat gemar membaca.‎
Bersambung ke halaman dua: Jadi rujukan, dikunjungi bule mancanegara...
Sejak resmi dibuka pada 30 April 2006, pada hari Pramoedya meninggal dunia, perpustakaan di rumah warisan keluarga Toer itu ramai dikunjungi, baik oleh tamu lokal maupun internasional.
‎Rumah ini menjadi lokasi rujukan para penggila sastra, mulai dari mahasiswa, dosen, penulis dan peneliti. Mereka berdatangan mencari beragam referensi sastra atau hanya sekadar ngobrol dengan Soes dan mengenang Pramoedya Ananta Toer.
‎
"Jadi, tamu datang dari seluruh dunia baik Amerika, Perancis, Bulgaria, Jerman dan Asia. Sudah (tamu dari) empat benua yang datang ke sini. Beberapa hari lalu ada juga mahasiswa doktor dari Norwegia menginap tiga hari," kata Soes kepada Kompas.com, Selasa (5/6/2018).
Soes sendiri punya bakat yang sama dengan Pram dalam hal menulis. Mereka sama-sama hobi menulis sejak kecil.‎
Buku-buku Soes yang terkenal antara lain, Pram dalam Belenggu, Pram dalam Kelambu, Pram dari Dalam, Pram dalam Tungku, Pram dalam Buku, Semua tentang Pram‎, Kompromi dan lain-lain. Ada 20 buku yang sudah diterbitkan.
‎
‎‎‎Di antara koleksi ribuan buku yang tersedia di perpustakaan maupun rumah itu tak satu pun terpajang karya Pram. Hanya buku karya Soes dan sebagainya. Soes mengatakan, buku karya Pram harganya selangit sehingga Soes pun tak mampu untuk mengoleksinya.
‎
Terakhir, buku tetralogi Pulau Buru dilelang Rp 5 juta. Adapun buku berjudul Arus Balik cetakan pertama dijual Rp 14 juta.
‎"Jadi Pram itu pelitnya bukan main. Saya saja disuruh beli. Siapa yang mau beli. Duit dari mana coba," tuturnya terkekeh.‎
Soes adalah potret orang yang berpendidikan tinggi, namun kehidupannya amat sangat sederhana. Dia tak punya ponsel. Fasilitas rumah cuma televisi usang.
"Sudah sejak dulu saya tidak memegang HP. Menonton tivi juga jarang sekali," ujarnya.‎
‎
Rumah warisan Toer Bersaudara begitu berarti bagi Soes dan Pram. Dahulu Pram berencana akan meremajakan bangunan rumahnya. Halaman akan disempurnakan dan rumah akan dibangun menjadi tingkat tiga.
"P‎ram sudah sedia uang puluhan juta waktu itu. Hanya saja hal itu kandas‎ karena berselisih paham dengan saudara-saudara lain. Pram itu mudah tersinggung. Kalau saya awalnya pindah Blora, sempat juga memperbaiki‎, namun anggaran minim. Pengennya merenovasi lagi, tapi uang memulung, beternak dan menjual karya buku tak sampai," pungkas Soes.