Bagi Soes, di rumah yang rapuh termakan usia itu, memori Soes bersama Pramoedya dan saudara-saudaranya berkelebat setiap hari.
Kondisinya memprihatinkan. Toer yang hidup sehari-hari dari memulung tidak memiliki cukup uang untuk memperbaikinya.
Rumah berdinding kayu usang dan tembok retak itu tidak terawat. Bahkan pagar masuk menuju rumah itu telah rusak dan tidak berfungsi.
Pagar bersusun kayu setinggi 70 meter‎ itu sudah tak kuat berdiri karena konstruksinya hancur di mana-mana. Akibatnya, diganjal kayu dan tali.‎Â
‎
Setiap hujan deras mengguyur, halaman rumah yang dipenuhi rumput liar itu selalu tergenang air. Atap rumahnya bocor di mana-mana, termasuk di dapur.
Dapur di rumah itu disulap menjadi ruang kerja Soes. Bukan seperti ruang kerja kantoran, namun lebih menyerupai gudang.
Di rumah itu terpajang sejumlah foto-foto yang mengabadikan Pram dan Soes.‎ Soes mengatakan, di rumah itu juga ada kamar Pram yang masih dirawatnya. Di Kamar Pram itu, ada buku-buku lama yang tertata di rak di dinding. Ada juga kasur tipis berseprai. ‎
Kamar Pram itu memang sengaja dijaga seperti aslinya untuk menerima para tamu yang ingin mengenang kehidupan Pram.
Kondisinya, ya seadanya.
"Katanya rumah ini mau dibangun oleh pemerintah‎. Tapi belum tahu kapan," kata Soes saat ditemui.
Di rumah itu, Soes memang membangun perpustakaan mini untuk mengenang sosok Pramoedya. Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (Pataba) namanya.