"Ayah dan ibu sudah broken semenjak aku kecil banget. Dan ibu menjadi buruh di pabrik, di Bekasi. Aku hanya dibesarkan oleh seorang nenek yang buta aksara, enggak bisa baca tulisan. Enggak kebayang kalau punya PR, siapa yang bisa bantu aku," ucap Heni.
Yang membuat Heni sedih, terkadang PR dari sekolahan tidak dikoreksi keesokan harinya di kelas.
Padahal, selama belajar membuat PR itu, Heni hanya mendapat penerangan dari lampu teplok. Rumahnya belum dialiri listrik.
"Sudah lubang hidungnya hitam-hitam, sampai sekolahan gurunya enggak ada. Kadang-kadang kalau ada PR, enggak diperiksa," ucap Heni.
"Dari sana, seperti ada dendam positif dari dalam diri aku. Suatu hari nanti, aku harus menjadi guru yang enggak boleh nyia-nyiain semangat anak didiknya untuk sekolah," tambah Heni.
Sulitnya akses transportasi ke SD membuat Heni tak jarang kerepotan di kala hujan. Biasanya, kalau kehujanan sepulang sekolah, seragam yang ia kenakan, diangin-anginkannya di atas tungku.
"Bau asap enggak apa-apa. Yang penting besok bisa dipakai lagi, karena punya seragam cuma satu," katanya.
Dicibir tetangga
Heni mengatakan, memang kondisi masyarakat di dusun tempatnya tinggal tidak terlalu baik. Bahkan, bisa dibilang buruk.
Teman-teman Heni seolah takut untuk memiliki cita-cita karena keterbatasan segalanya, meskipun mereka sama-sama merasakan kesusahan yang sama.
Tak sedikit dari teman-temannya itu yang hanya tamatan SD. Karena kondisi ekonomi, istilah Heni, boro-boro untuk sekolah, untuk makan saja susah.