Ahay
Namun, sebuah novel yang bernas ada caranya. Yang paling dasar adalah menyusun cerita berdasarkan 3-Act Structure, yakniÂ
Act-1. Pembukaan/Set-up. Biasanya digunakan untuk memperkenalkan karakter dan tujuan mereka dalam kisah.Â
Act-2. Tengah, yang biasanya meningkatkan taruhan, berisikan konfrontasi antara protagonis, dan antagonis, sertaÂ
Act-3. Penutup yang berbentuk resolusi dari keseluruhan kisah. Bisa berupa good atau bad ending.Â
Teori ini dikembangkan oleh Aristoteles dan seringkali ditemukan dalam literasi legendaris, seperti karya-karya Shakespeare. Syd Field dalam bukunya, Screenplay: The Foundations of Screenwriting (1979) kemudian mempopulerkan teori ini. Alhasil, novel atau film zaman dahulu "hampir pasti" memiliki Struktur Tiga Babak ini.
Namun, seiring waktu berjalan, kreativitas semakin berkembang, dan keinginan pembaca semakin tidak mudah terpuaskan. Thus, muncullah 5 point Story Arc hingga 8 point Story Arc.Â
Teori baru ini merupakan pengembangan dari teori sebelumnya. Caranya adalah dengan menambahkan beberapa jembatan antarbabak. Tujuannya agar audiens lebih mendalami tokoh, konflik, alur, hingga pilihan-pilihan (yang biasanya sulit) bagi tokoh.Â
Dari sini, si pembuat kisah dapat mengeksplorasi kreativitasnya menjadi lebih unik, seperti menambah twist plot, menambah taruhan sehingga situasi menjadi semakin sulit, bahkan terkadang tidak masuk akal, sampai menambah bumbu-bumbu penyedap yang menggali emosi dari audiens.
Nah, bagaimana dengan kisah hidup Pak Tjiptadinata dan Bu Rose? Apakah kisah mereka layak untuk disusun menjadi sebuah novel berkelas?
Iseng-iseng aku menghubungi Bunda Roselina, mencoba menggali potensi kisah hidup mereka berdua. Apakah dapat dikemas sesuai dengan teori 3-Act Structure hingga 8 point Story Arc. Dan, jika bisa apakah mengandung cukup banyak konflik yang bisa disusun menjadi sebuah kisah inspiratif dan Insyallah mampu membuat pembaca mewek-mewek.