Heng sisa menunggu giliran kematian.
Di tengah-tengah kepanikannya, Heng kembali menguatkan dirinya. Saya tidak bisa menyerah. Saya yang harus menyelesaikannya, katanya dalam hati. Lalu, tanpa pikir panjang, Heng meraih belati pusaka marga Xiao yang teronggok di lantai, dan berdiri menghadap sosok serupa istrinya itu. Ia mengacungkan belati pusaka ke sosok itu. Siap-siap menumpas makhluk terkutuk itu.
Akan tetapi, bukanlah sosok mengerikan itu yang menjadi sasaran. Heng menutup erat matanya dan berbalik arah. Ia menghambur ke tempat tidur bayi, lalu mengangkat lengannya tinggi-tinggi.
Suara cekikikan mengerikan itu tidak lagi terdengar. Begitu pula dengan sosok palsu istrinya. Tidak berada lagi di tempatnya. Tubuh Heng masih bergetar, meskipun ia sudah bisa mulai tenang. Ancaman sudah hilang. Ia seharusnya senang, tetapi tidak.
Heng tersungkur ke lantai. Ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Wajahnya dipenuhi darah dari salah satu bayinya. Ia menangis sejadi-jadinya, berteriak sekuat-kuatnya, menumpahkan semua emosi dari dalam batinnya. Perlahan, para tamu yang bersembunyi mulai mendekati dirinya. Mereka menyentuh tubuh Heng, menghibur, menguatkannya, seraya mengucapkan ucapan belasungkawa.
Heng tidak henti-hentinya menangis. Ia meratapi nasibnya, menangisi kematian istrinya, dan menyalahkan dirinya atas belati yang terhunjam di tubuh salah seorang bayi kembarnya.
**
Acek Rudy for Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H