Lo-pek enggan menyerah. Ia menekukkan badannya yang sudah telentang di lantai, kedua tangannya ia rapatkan ke dada, menggenggam erat tiga batang dupa itu. Ia memejamkan mata rapat-rapat, mulutnya komat-kamit, mengucapkan sesuatu yang tidak terdengar. Mungkin doa, mungkin juga mantra.
Percuma! Tubuh malang pria tua itu terseret hingga beberapa meter. Lalu, setelah benturan yang entah keberapa kali, ia mulai menjerit kesakitan. Kekuatannya melemah. Tenaga mahadahsyat dan tak kasatmata yang ia hadapi, bukanlah lawan seimbang. Â
Akhirnya, dengan sisa-sisa kekuatan, ia berteriak sekeras-kerasnya, "Oleskan darah murni. Berikan mereka nama!"
Heng terhenyak. Tubuhnya masih bergetar ketika ia mencelupkan jari telunjuknya ke dalam mangkuk. Dengan tangan gemetar, ia mengoles dahi salah satu bayi kembarnya. Ia lalu berteriak kencang. "Nuwa! Namanya Nuwa!" Teriakannya membuat sang bayi menangis semakin kencang.
"Satu lagi ... satu lagi!" teriak Lo-pek. Namun kiranya, itu adalah teriakan terakhirnya. Tubuh malang itu terhantam ke tembok, ia tak sadarkan diri seketika.Â
Seiring dengan rubuhnya Lo-pek, satu per satu tubuh para pendoa terhantam ke tembok, melekat pada dinding bagaikan cecak yang tidak berdaya. Sejurus kemudian, cahaya lampu berkedap-kedip, menerangi permukaan konkrit pada tembok yang berubah lunak, bergoyang-goyang bagaikan cairan.
Lalu, teriakan-teriakan histeris terdengar memilukan, mengiringi tubuh-tubuh malang yang tertelan tembok terkutuk itu.
Kini Heng tahu bahwa ia harus mengambil alih situasi, meskipun kakinya lemas, tidak kuat lagi menahan beban tubuhnya. Ia mencelupkan jarinya ke dalam mangkuk, tetapi hanya dalam waktu sekejap, mangkuk di tangannya terhempas. Kiranya ada seseorang yang mendamparnya.
"K-Kamu. Kenapa?" Wajah Heng memucat. Ia tidak menyangka jika sosok itulah yang menepis mangkuk di tangannya. Sosok istrinya!
"K-Kenapa?" Heng bertanya lagi kepada perempuan yang menyeringai tajam kepadanya.
"Jangan berani sentuh anakku!" teriak sang istri. Heng lemas seketika. Ia memandang bergiliran. Ke arah istrinya dan jari telunjuknya yang sudah teroles darah murni. Ia bingung harus melakukan apa. Sosok sang istri masih berdiri diam dan memelototinya. Heng ingin menyerah. Ia menyayangi istrinya, ia sayang anak-anaknya, ia seharusnya menjadi pelindung mereka. Bukan justru sebaliknya, tunduk kepada aturan tradisi keluarga Xiao untuk memisahkan bayi-bayinya. Heng berjalan perlahan mendekati istrinya. Matanya menatap syahdu seraya mengulurkan kedua tangan untuk memeluk perempuan tercinta itu. Namun, suara tangisan mengentakkannya lagi. Bukan tangisan bayi, tetapi tangisan seorang perempuan dewasa.