Tangisannya ....
Iya, Â salah satu dari bayi itu tidak menangis seperti kembarannya, tetapi mendesis lirih. Seperti kehabisan napas!
"D-Dia tidak menangis?" tanya Heng gugup sambil menunjuk bayi itu. Bidan yang menggendongnya tidak menjawab. Ia hanya menunduk, diam seribu bahasa.
"Dia tidak menangis. Dia belum bernapas. Anakku tidak bernapas!" Heng semakin panik. Ia menghampiri beberapa orang yang berada di dalam kamar itu secara bergiliran, mencoba untuk meminta pertolongan, tetapi tidak ada seorang pun yang bergerak. Semuanya diam mematung.
"Bayiku. Tolong, bayiku belum bernapas!" pekiknya lagi berulang-ulang.
Di tengah-tengah kekalutannya, pria tua yang tadi dipanggil Lo-pek oleh Heng, datang menyentuh bahunya dengan lembut, "Anakku, bayimu baik-baik saja." ujar Lo-pek. "Lihatlah, ia bergerak lincah," lanjutnya lagi.
"T-Tidak mungkin, bayi yang tidak menangis itu tidak normal," pekik Heng.
"Tenanglah," ujar Lo-pek lagi. "Ingatlah syair, ia yang tertawa akan melalap yang menangis. Kelahiran semesta akan menyambut akhir dunia."
Heng terkesiap, menangis dan tertawa. Dua kata kunci pada syair kuno itu. Bunyi desisan yang bayinya keluarkan, bukan karena kehabisan napas. Melainkan, suara tertawa!
"A-Artinya, Dewi Kembar benar-benar telah lahir?" Heng melepas kacamata dan mengusap wajahnya berulang-ulang kali. Ia seolah-olah ingin segera sadar dari mimpinya-- mimpi buruk yang akan menjadi semakin buruk. Hati kecilnya menolak kenyataan bahwa ramalan itu benar: Istrinya  akan melahirkan sepasang dewi kembar yang akan menentukan kelangsungan marga Xiao. Oleh karenanya, kedua  sosok ini harus menjalani takdir yang berbeda. Mereka harus dipisahkan. Tidak boleh bersama.
"T-Tapi, wajah keduanya tampak normal," Heng mencoba membela diri. "Tidak menyeramkan, kulitnya tidak menghitam, tidak seperti yang tergambar di kitab warisan. Mereka normal!" teriaknya lantang. Sekali lagi, tidak ada yang memedulikannya.