Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Chuang Bali Bab 3: Cinta yang Hilang

4 Oktober 2023   05:20 Diperbarui: 4 Oktober 2023   05:25 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel Chuang Bali Bab 3 (sumber gambar: istockphoto.com)

SAYANGNYA Chuang memiliki kebiasaan buruk. Ia adalah tipe pria pencinta guling dan kasur. Begitu tubuhnya menyentuh tempat tidur, lima menit adalah waktu yang sudah cukup lama untuk langsung terlelap

Hanya dalam sekejap, ayam jantan sudah berkokok kencang. Padahal ia baru saja membangun 998 candi. Rekornya masih kalah satu dari Bandung Bondowoso. Itupun gegara masalah sepele. Si Rusli salah hitung. Ia hanya memberikan 998 sak semen dari total 1000 semen yang ia pesan dari toko kelontongnya.

"Ah, sial!" Chuang mengumpat dalam hati atas keteledoran Rusli. Tapi, suara ayam jantan terdengar semakin keras. Sangat keras hingga memporak-porandakan gendang telinganya.

"Chuang, bangunnn! Tempat rebus bakmi belum kau bersihkan!" Chuang terkejut dan segera pergi meninggalkan Roro Jongrang yang masih terbengong-bengong. Perintah mamanya jauh lebih penting daripada tugas menyelesaikan Candi Prambanan.

"Eh... Eh...." Chuang masih belum sepenuhnya sadar ketika si Mama menjewer telinganya yang berbentuk jamur auricularia auricular itu.

"Dasar anak malas. Makanya kalau tidak sanggup kerja, segera cari istri. Biar kamu bisa tidur pulas dan dia yang ganti kerjaanmu." Sang ibu mengomel lagi. Dan, untuk kesekian kalinya Chuang sadar bahwa tujuan hidupnya tiada lain hanya satu. Mencari istri.

Tapi, tidak seperti biasanya. Di pagi itu, Chuang tidak terlihat misuh-misuh ketika mamanya menyinggung lagi perkara pernikahannya. Chuang memandang mata sang Mama dengan penuh rasa percaya diri.

"Ma, Chuang janji akan mencari istri dalam tempo tujuh hari." Mamanya tidak percaya dengan perkataan anak semata wayangnya itu.

"Kamu serius, Chuang?"

"Iya, Mama. Ini adalah janji Chuang yang akan ditepati."

"Oh, Anakku." Si Mama tersenyum penuh haru. Ia memeluk tubuh putra yang dikasihinya itu.

"Kalau begitu, kamu lanjut tidur ya. Biar Mama saja yang membersihkan panci. Semangat ya, Anakku."

**

HATI Chuang kembali galau. Rupa-rupanya ia baru tersadar jika bunyi kokok ayam yang ia dengar berasal dari makhluk jejadian. Sebabnya, ia sendiri heran mengapa begitu mudah menganggit janji kepada mamanya.

Ibu kandung ini lho.

Tidak perlu perlu menjadi filsuf Tiongkok untuk mengetahui bahwa orangtua kandung memiliki kedudukan sederajat dengan dewa-dewi kahyangan. Bahkan mungkin lebih tinggi berdasarkan versi Confucious.

"Mengapa, aku bisa berjanji untuk sesuatu yang belum bisa aku yakini. Bagaimana kalau aku memang tidak memiliki jodoh di dunia ini? Bagaimana jika gadis yang kukawini ternyata tidak cocok dengan Mamaku? Bagaimana jika wanita itu nanti menjanda? Bagaimana begini, bagaimana begitu." Dan, masih banyak lagi.

Chuang akhirnya tidak terlalu ambil peduli.  Baginya apa yang sudah dikumandangkan, tidak bisa dijilat kembali. Daripada hanya gelisah sendiri tidak menentu, lebih baik berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi janjinya.

**

RABU pagi,

Rumah Bakmi Hao tidak terlalu ramai pengunjung. Saatnya bagi Chuang untuk berkontemplasi. Melihat jauh ke dalam jati dirinya, terhadap apa yang sudah terjadi selama 38 tahun terakhir. Terkhusus kisah cintanya dan mengapa ia masih menjomlo.

Cinta Jaya namanya. Kulitnya putih, matanya sipit, dengan hidung yang tidak terlalu mancung, ciri khas perempuan-perempuan Tionghoa pada umumnya. Sekilas, ia terlihat laksana dewi. Tapi, bukan dewi kahyangan versi Joko Tingkir yang konon kecantikannya melampaui Cleopatra. Ia lebih mirip patung dewi yang terpajang di altar kelenteng.

Cina banget.

Tapi, justru karena itu mereka putus.

Karena perkara patung, harapan mereka pupus. Cinta Jaya tidak setuju jika Chuang masih menyimpan patung Toa Pe Kong di dalam rumahnya. Baginya, patung adalah patung, bukan untuk dipuja apalagi disembah. Tapi, Chuang tidak setuju akan hal itu. Baginya, arca keramik itu sudah ada sejak zaman buyutnya. Sudah disembah dan dipuja sejak zaman kolonial. Sementara, Cinta Jaya belum lahir di zaman itu.

Sebaliknya, Chuang tidak setuju jika orang Tionghoa harus memercayai dewa berjenggot dari ras yang berbeda. Posenya pun tidak menyenangkan, terikat di atas kayu dengan wajah sedih. Tanpa baju pula.

"Itu gaya yang tidak bawa hoki," celutuk Chuang saat sedang berduaan dengan Cinta Jaya di rumahnya. Ia tidak menduga jika celotehan singkatnya berakibat fatal. "Kamu jahat, Chuang. Kamu jahat," pungkas Cinta Jaya sambil berlari masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan Chuang sendiri di ruang tamu, menghempas perasaannya dalam keadaan wajah melongo.

 Dan sejak saat itu Cinta Jaya mulai menjauh. Ia menganggap Chuang adalah sekutu iblis. Serigala yang senang memangsa domba-domba sesat. Cinta Jaya tidak sudi lagi berhubungan dengannya. Semua telpon masuk Chuang ditolaknya, pesan teks pun tak dibaca.

Asisten Rumah Tangganya selalu berbohong, setiap kali Chuang berkunjung ke rumahnya "Nong Cinta senang datang bulang, Dibilang tidak mau diganggu, bede," ujar si ART asal kota Makassar itu.

Tentu saja ia berbohong. Tidak ada wanita yang senang datang bulan. Kalaupun iya, tidak mungkin berlangsung selama penuh sebulan. Akhirnya Chuang menyerah. Frasa "Datang Bulang" adalah kode keras untuk "Aku tak mau dengan kamu lagi." 

Kini Chuang harus berhadapan dengan masalah baru. Bagaimana menjelaskan kepada mamanya yang sudah terlanjur menyukai Cinta Jaya? Alasan sang Mama cukup masuk akal. Selain karena wajah gadis itu yang mirip dewi Tionghoa, namanya pun bawa hoki.

Cinta Jaya, mirip nama toko.

Jika Chuang bilang mereka berpisah karena masalah Toa Pe Kong, mamanya pasti murka dan sakit hati. Bagaimana mungkin orang Cina tidak percaya dewa bumi. Kuwalat namanya. Jika Chuang bilang perkara dewa berwajah sedih di rumah Cinta Jaya, mamanya pasti akan lebih murka lagi.

Akhirnya Chuang mengambil inisiatif. "Cinta lebih suka bule daripada Cina, Ma." Mamanya terdiam. Larut dalam kesedihan. Meskipun dalam hati ia bisa memaklumi, tersebab sedari kecil ia juga mengidolakan Charles Bronson. Aktor Hollywood yang sering main film koboi.

Tentu saja anaknya kalah jauh.

Benar kata orang, hati-hati dengan ucapan. Sebulan setelahnya Chuang mendengar kabar jika Cinta Jaya telah menemukan tambatan hatinya. Seorang bule asal Amerika. Bukan bule biasa, tapi yang berjanggut, rambut gondrong, dan tidak pakai baju. Chuang melihat fotonya sendiri. Dikirim oleh sahabatnya, Willi Andy.

Ya, Cinta Jaya menemukan jodohnya saat berpelisiran di Pantai Kuta Bali.

Chuang mengusap-usap wajahnya. Ia mencoba merengkuh kesadarannya. Tiada gunanya menyesali masa lalu, masa depan belumlah pasti, saat sekarang yang harus dijalani. Termasuk janjinya kepada sang Ibu untuk segera mencari jodoh dalam waktu tujuh hari. []

**

Acek Rudy for Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun