Percakapan berikut ini terjadi di sebuah toilet di pusat perbelanjaan kota Makassar. Saat itu, saya sedang asyik-asyiknya menuntaskan hajat (kecil). Lalu, datanglah dua lelaki tionghoa yang mengambil tempat di sebelah kiri dan kananku. Tentu saja, tanpa harus memasang radar kepo, saya bisa dengan jelas mendengar percakapan mereka.
Kurang lebih seperti ini;
Pria A: "Kamu, toko apa?"
Pria B: "Saya toko XYZ. Kamu pasti tahu."Â
Pria A: "Oh, tentu. Saya sering membeli barang di sana."
Percakapan pun berlanjut. Masih kisaran dunia usaha dan juga tawar menawar. Saya termenung hingga tetes hajat terakhir. Membersihkan diri dan melongsor pergi.
Sebenarnya, percakapan tentang "kamu toko apa" masih marak terjadi di antara sesama komunitas tionghoa. Setidaknya di kota Makassar. Sebabnya sejak zaman bapakmu, toko adalah identitas bagi orang tionghoa.
"Kamu tidak dikenal sebagai siapa diri kamu, tapi tokomu."
Itulah ucapan papa yang masih terngiang-ngiang hingga kini. Dan, itulah mengapa saya selalu menggunakan embel-embel "toko," setiap kali memperkenalkan diriku. "Rudy, Toko XXX."
Begitu pentingkah identitas toko bagi orang Tionghoa?