Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Pesugihan Waringin Kembar

6 Desember 2022   14:30 Diperbarui: 6 Desember 2022   15:23 1491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Risha masih tak percaya dengan apa yang ia dengar. Satria meninggal ditabrak mobil. Kejadiannya baru semalam di seputaran Palmerah. Lokasi tempatnya magang di sebuah kantor berita.

Risha berusaha menahan emosinya, menggemgam erat cangkir cappuccino yang sudah mulai dingin. Meskipun Joan sahabatnya tahu, jika Risha tidak setegar itu.

“Bukan salahmu, Ris. Emang sudah ajalnya. Semoga almarhum khusnul khotimah,” begitu suara yang terdengar dari mulut Joan.

Joan salah, Risha bukannya sedih atau menyesal. Ia hanya teringat tampilan miscall pada layar gawainya. Pukul 05:27, Satria (miss call 1). Tampilan waktu yang tidak sinkron, karena Satria meninggal malam sebelumnya.

Bukan masalah serius. Bisa saja karena signal sehingga notifikasi telat masuk. Bukan juga perkara mengapa Satria menelpon Risha, ia memang sudah sering begitu.

“Eh, jelek…” begitulah cara Risha memanggil satria. Sahabat sekampusnya yang sudah ia kenal lama. Semenjak mereka berdua masih duduk di bangku Sekolah Dasar, hidup bertetangga.

“Eh, elu yang jelek, kayak wewe…” Satria balas memaki Risha. Membuat kedudukan mereka sama. Saling mengejek, menguji keakraban.

Keduanya sempat terpisah. Risha harus mengikuti ayahnya, ke tempat dinasnya yang baru. Di sana Risha menyelesaikan pendidikannya hingga tingkat SMA.

Sewaktu kuliah mereka bertemu lagi. Di universitas negeri ternama di ibukota. Pertemuan yang tak terduga itu kembali menjalin persahabatan lama. Enam tahun terpisah, sudah begitu banyak perubahan.

Risha tidak lagi judes, meskipun matanya masih sering melotot, terutama bila sedang marah. Tapi, itu tidak masalah. Sama sekali tidak masalah bagi Satria yang sekarang juga sudah berubah.

Tidak ada lagi wajah cupu berkacamata, rambut yang tidak pernah disisir, dan tubuh yang tambun tak berbentuk. Satria yang sekarang bertubuh atletis, dengan wajah klimis yang bisa bikin para gadis meringis.

“Yuk ke rumah duka, Ris…” Suara Joan membuyarkan lamunan Risha. Si gadis sempat meragu, tapi ia mengangguk.

Sesampainya di rumah duka, kedua orangtua dan keluarga Satria tampak sedang khusyuk melantunkan doa. Risha memilih tempat di pojok ruangan, berdua bersama sahabatnya Joan.

Suasana tidak terlalu ramai, mungkin karena hari baru menjelang petang. Terik matahari dan susasana perkotaan sepertinya tidak terlalu peduli dengan kesedihan yang mendalam.

Risha tidak sedih. Setidaknya itu anggapan dari teman-teman kampusnya. Tapi, yang mereka tidak tahu, Risha baru saja jadian dengan Satria. Beberapa hari sebelumnya.

Dalam kesendiriannya, Risha kembali membuka pesan-pesan terakhir dari sang kekasih. Cukup banyak yang mereka bicarakan dalam sepekan belakangan. Dari masalah pekerjaan Satria, kegiatan di kampus, hingga gosip tak berkelas.

Cukup banyak juga pesan tak penting yang dikirim Satria. Hanya sekadar menyapa selamat pagi ataukah sudah maksi. Basa basi.

Tangan Risha bergetar, wajahnya tegang. Sebuah pesan baru masuk ke gawainya. Perlahan Risha menggeser jarinya, menuju ke pesan terbaru yang berada di bagian paling bawah layar.

“Hati-hati Sopi.” Sebuah pesan dari SATRIA!

**

“Sopi… Sopi… Hati-hati Sopi datang.” Anak-anak kompleks mengejek Risha kecil yang judes. Tempat tinggal Risha bukanlah lingkungan besar. Sebuah perumahan kecil yang hanya berisikan sekitar 20 rumah. Berada di sudut kota, tidak terlalu banyak yang memilih tinggal di sana. Apalagi pasokan listrik yang belum memadai di zamannya, membuat kompleks itu semakin terkucil.

Sopi adalah panggilan masa kecil Risha. Artinya Sok Pintar. Terjadi begitu saja, mungkin gegara gaya ceriwis Risha. Kerapkali ia terlihat menggurui teman-teman sebayanya.

Meskipun terkesan sepele, kedua orangtua Risha selalu marah jika mendengar anaknya dipanggil dengan Sopi. “Risha, kamu bilang ke mereka, kamu tidak ada saudari yang bernama Sopi,” hardik ibu Risha di suatu petang.

Terasa janggal, karena Sopi hanyalah julukan semata. Tidak ada hubungannya dengan saudara, karena memang Risha adalah anak tunggal.

**

Risha masih ingat kejadian malam itu, Saat ia terbangun dari tidurnya. Risha mendengarkan percakapan dari luar rumah. Suara bundanya keras. Nadanya tinggi, menghardik Pak Aswan, ketua RT.

“Risha sudah tidur, kamu salah lihat!”

“Tapi, tadi saya melihatnya keluyuran di depan rumah, Bude.” Pak Aswan masih penasaran hingga pintu rumah Risha dibanting dengan keras.

Risha yang terbangun hanya bisa ketakutan. Belum pernah ia melihat bundanya begitu marah. Ia urung keluar kamar, mencoba kembali terlelap. Meskipun Risha tidak tahu kenapa namanya disebut-sebut…

**

Sejak kejadian malam itu, semakin banyak peristiwa aneh yang terjadi di kompleks. Semakin banyak warga yang mengaku melihat Risha berada di depan rumahnya. Padahal Risha jelas-jelas sedang pergi bersekolah atau bermain bersama anak-anak.

Rumor pun beredar, ada hantu gentayangan di lingkungan. Wajahnya mirip Risha. Bagaimanapun kedua orangtua Risha menepis, selalu saja ada pertanyaan yang sama mereka dapatkan dari para tetangga yang resah.

Hingga akhirnya, ibunya memutuskan untuk pindah dari sana, menyusul ke kota tempat ayah Risha berdinas.

**

Risha terkejut, ia merinding bertemu dengan Ade dan teman kampus lainnya yang juga berkunjung ke rumah duka.

“Ris, lho kamu di sini. Tadi aku sempat ketemu kamu di depan rumah lho,” sapa Ade.

Tidak ada yang peduli, karena memang suasana seharusnya khusyuk. Tidak rusuh, sebagaimana perasaan di dalam hati Risha yang saat itu langsung bergemuruh.

“Hati-hati Sopi,” pesan teranyar dari Satria, baru saja beberapa saat yang lalu. Sopi jelas adalah nama kecil Risha yang sudah lama terabaikan. Pantas dilupakan, membawa kisah suram dari masa lalu. Hanya Risha yang tahu seperti apa itu.

**

Kejadian aneh semakin banyak terjadi. Beberapa hari setelah kematian Satria, semakin banyak teman yang mengaku bertemu dengan Risha di tempat berbeda.

Risha tidak mau menerima kenyataan. Ia berusaha berpikir positif, berkata jika ada dopelgaengger, orang lain yang mirip dengannya. Konon setiap orang punya tujuh “kembaran” seperti itu di dunia ini.

Hingga suatu hari…

Risha sedang duduk di perpustakaan kampusnya. Ia berkumpul bersama beberapa teman untuk membahas grup project tugas kuliah. Hari menjelang maghrib, ketika samar-samar terlihat sesosok tubuh muncul dari belakang Risha.

Ia berdiri di sana, tidak bersuara, tanpa ekspresi.

Semua yang hadir terdiam. Wajah Risha yang ceria, bukanlah pokok perhatian mereka. Melainkan sosok yang berdiri di samping Risha. Bagaikan cermin, ia mengikuti semua gerakan Risha. Setiap detil, tanpa sedikit pun kesalahan.

“Rii…s,” Joan tergugup. Tangannya menunjuk ke arah Risha.

“Ada apa sih Joan,” Risha memandang ke kiri, kanan, dan belakangnya. Kosong, tidak ada sesuatu pun di sana.

“Haaaannnn… tuuu…..!” Suara terdengar menakutkan. Semuanya berlari kencang meninggalkan ruang perpustakaan, termasuk Risha.

Wajah pucat pasi dan napas yang tersengal-sengal. Semua kawan-kawan Risha mengkerubutinya. “Loe kagak lihat? Ada setan yang mirip kamu, Ris…”

Risha terdiam. Jika dulunya ia tidak percaya, kini ia menjadi saksi dari sebuah kisah horor. Meskipun ia tidak bisa melihatnya, tetapi ia tahu, Sopi kembali. Dan itulah pesan yang ingin disampaikan oleh Satria, kekasihnya.

Risha berjalan gontai keluar kampus. Menuju ke jalan utama tempatnya biasa mencegat kendaraan umum. Suasana sepi, alam rela menyendiri.

Langkah Risha terpaku. Sesosok wajah yang ia rindukan berada di situ.

“Sa… Satria,” air mata Risha mulai berlinang. Tapi, hanya sesaat saja, ketika ia sadar Satria tidak sendiri. Ada dirinya di sana, menggandeng tangan kekasihnya. Mereka tampak bahagia, meskipun tidak ada ekspresi yang tersirat.

Dua puluh tahun yang lalu…

“Anak ini tidak bisa lagi diselamatkan,” ujar Mbah Bejo, seorang dukun terkenal dari kampung berapi.

“Tolonglah, Mbah. Apapun keinginannya kami akan penuhi. Putri kami sudah sekarat di rumah,” seorang lelaki muda memohon kepada pak dukun.

Si dukun terdiam sebentar, menggeleng-gelengkan kepala. Lalu menghela napas.

“Sebenarnya ada satu cara. Putri ibu hanya boleh disembuhkan dengan ajian sakti kuno. Namanya Pesugihan Ringin Kembar.

“A…apa yang harus kami korbankan, Mbah?” lelaki muda itu

Tidak ada, putrimu hanya perlu diberikan saudari kembar. Dia aku hidupkan kembali dari ari-ari anakmu. Saudara kembar yang mengorbankan dirinya.

“Lalu…” si lelaki kembali bertanya.

“Sekarang tergantung si janin terbuang. Jika ia senang dengan anakmu, ia akan menjadi pelindung. Tapi, jika ia marah, ia akan mengambil nyawa orang-orang kesayangannya,” pungkas mbah Dukun.

“Bagaimana, setuju? Siapa nama anakmu?

"Sopi, Mbah."

Nah, berikanlah nama untuk kembaran ghoib anakmu sekarang.

“Baik, Mbah. Namanya… Ehmmm… Risha, Mbah.”

**

Acek Rudy for Kompasiana

Disklaimer: Cerita ini hanya fiksi, kesamaan nama dan tempat hanya kebetulan saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun