Pengusaha adalah profesi. Mengacu kepada mereka yang mejalankan aktivitas bisnis dalam kesehariannya. Sementara menurut opini pribadi saya, entrepreneur adalah masalah kemapanan dalam berbisnis.
Sepanjang seseorang berani memulai sebuah bisnis dan mengambil risiko untuk beproses, maka ia bolehlah dikatakan memiliki jiwa entrepreneurship (kewirausahawan).
Baca juga:Â Jadilah Entrepreneur yang Membanggakan Indonesia
Tapi, mengambil risiko tentu saja juga harus dengan pertimbangan matang. Jika tidak, bisa mati konyol otodidak. Pertimbangan matang disini bukan kebanyakan mikir. Tapi, harus diiringi dengan kemampuan untuk memecahkan masalah dalam prosesnya.
Meskipun demikian, alangkah baiknya untuk mempertimbangkan risiko-risiko yang bisa saja terjadi. Dalam istilah bisnis, namanya adalah peerapan Risiko Terukur. Sangat dibutuhkan sebelum kepalang basah terjun ke dunia usaha.
Nah, saya punya rumus tersendiri yang saya namakan Aplikasi 3ES (Entry, Engagement, dan Exit Strategies)
Entry Strategy
Istilah ini mengacu kepada seberapa besar halangan (entry barriers) untuk masuk ke dalam sebuah bisnis. Ini terkait dengan perhitungan modal awal, persaingan di kolam yang sama, besarnya pasar, dan target konsumen yang dibidik, serta hal-hal lain yang sudah menjadi mata pelajaran kuliah ekonomi dasar.
Tapi...
Bagi saya nafsu adalah musuh yang menyamar. Sebagai pengusaha saya sudah sering merasakan euforia pada saat ditawarkan proporsal bisnis. Perasaannya itu tiada bedanya dengan jatuh cinta -- tai kucing pun wajahnya bening.
Singkat kata, adrenalin mengalahkan logika. Tabungan dihabiskan, kualat dikit lagi, rumah pun bisa digadaikan. Ingat, tidak ada yang terlalu manis di dunia ini. Kalaupun ada, itu adalah sumber penyakit diabetes.
Saya memiliki beberapa indikator awal dalam penilaian Entry Strategy. Tidak terdapat dalam buku pelajaran ekonomi, hanya berdasarkan pengalaman saja.
Satu. Jangan terjun ke dalam kolam yang sudah penuh
Saya mencegah masuk ke dalam bisnis yang sedang booming. Memang sih, pasarnya menarik. Semua orang sedang membicarakannya. Rasanya bagaimana ya kalau ketinggalan zaman.
Tapi, biasanya apa yang cepat hangat juga cepat dingin. Coba deh perhatikan di sekitarmu. Apa yang terjadi dengan bisnis-bisnis yang sempat viral beberapa saat lalu? Tidak usah dibahas, sakitnya tuh di sini...
Dua. Diferensiasi itu Bagus
Dalam dunia usaha, ada yang namanya niche market. Saya sudah pernah membahasnya. Sila baca artikel di bawah ini:
Baca juga:Â Memanfaatkan Niche Market dalam Persaingan Bisnis
Intinya adalah, ikut-ikutan sudah bukan zamannya lagi. Selain harus berjuang menjadi jerami ditengah kandang kuda, bisnis yang itu-itu lagi juga susah berimprovisasi. Akhirnya bukan untung, malah buntung.
Keuntungan dari diferensiasi adalah perhatian. Karena beda sendiri, apapun yang dilakukan adalah keunikan. Pasarnya memang lebih kecil, tapi Anda akan memiliki pelanggan yang setia. Selain itu, tidak perlu repot-repot mengeluarkan biaya promosi atau banting harga untuk menarik minat pembeli.
Tiga. Berhati-hati dengan Kemudahan
Saya pernah mendapatkan tawaran bisnis MLM. Tawarannya menggiurkan. Modal kerja yang disediakan hanya minimum 3,5 juta saja. Selebihnya tergantung seberapa lihai matamu mengintai.
Dari 10 orang yang ditawarkan, tujuh orang memutuskan untuk berinvestasi. Saya termasuk yang ngacir duluan sebelum acaranya selesai. Dugaanku tepat, lima dari tujuh orang masih berjibaku dengan sisa stoknya yang tidak terjual.
Entry strategy yang halangannya terlalu mudah adalah petaka. Pengusaha professional justru menghindari hal itu. Apalagi mereka yang tajir. Modal yang besar membuat mereka memilih industri raksasa yang tidak bisa disentuh oleh pebisnis kacang-kacangan.
Tapi, sebagai pengusaha yang biasa-biasa saja, kita juga bisa menciptakan entry barriers yang sulit bagi orang lain. Dan itu berasal dari jaringan pertemanan, ide kreatif, dan/atau skill yang tidak banyak dimiliki orang lain. Seperti apakah itu? Selanjutnya biarlah kamu, kamu, dan kamu saja yang berpikir.
Sebagai seorang pengusaha, entry strategy adalah garda terdepan untuk penerapan risiko terukur. Cobalah bermeditasi sejenak lalu jernihkan pikiran Anda. Jangan sampai menyesal dan ketika bisnis sudah dimulai, kita lalu terjebak dalam sindrom simalakama.
Engage Strategy
Sebelum memilih sebuah bisnis, saya selalu menjadikan diri sebagai tolak ukur. Yang saya pertimbangkan adalah: 1) Apakah saya memiliki pengetahuan yang cukup tentang industri tersebut 2) Apakah saya memiliki kemampuan dalam mengelola, dan 3)Â Apakah saya memiliki passion dalam bidang tersebut?
Pengetahuan Terkait Industri
Jika harus masuk ke dalam sebuah industri, saya selalu memulai dengan pertanyaan. Sejauh manakah diriku memahaminya? Hal ini berguna sebagai bahan pertimbangan. Jangan sampai bakal kongsianku terlalu optimis, sehingga ia memudahkan segala hal. Dan yang lebih parah lagi, jangan sampai ia hanya berniat menipu.
Jika saya belum paham, maka saya akan cari tahu. Sumbernya bisa dari bacaan, tetapi yang paling baik adalah mereka yang sudah berpengalaman. Makanya, jaringan pertemanan itu sangat perlu sebagai setiap orang.
Kemampuan dalam Mengelola
Jika sebaliknya, saya sudah memahami industri tersebut. Saya tidak langsung menerima atau menolaknya. Saya akan mempertimbangkan beberapa hal. Seberapa besar kontribusiku di bisnis baru ini. Jangan sampai waktu dan tenaga habis karena saya yang menjadi pelaku utama. Sebabnya saya masih punya bisnis utama dan lainnya yang juga butuh perhatian.
Di lain sisi, saya juga akan menilai, sejauh mana fungsi kontrolku. Apakah itu sesuai dengan keahlianku. Kalaupun perusahaan memutuskan untuk menyewa tenaga professional, saya selalu yang memilih mereka. Penilaianku terhadap tim saya anggap signifikan. Kepercayaan dan keyakinan harus diterapkan paling depan.
Apakah Sesuai Passion?
Tentu saja bisnis yang menyenangkan akan terasa lebih enak untuk dikelola. Namun, jangan juga terlalu memilih. Karena bagi saya, menghadapi tantangan baru juga adalah passion tersendiri.
Meskipun begitu, Â saya juga tidak mau mati konyol. Untuk itu pemilihan teman kongsi di sini juga penting. Seberapa paham mampu mereka dalam pengelolaan?
Jangan sampai mereka hanya mengharapkan diriku saja. Padahal tujuanku mencari partner adalah untuk mendapatkan keuntungan dalam kerja sama yang setara.
Pembagian tugas juga perlu disetarakan di depan. Siapa yang memegang operasional, siapa bagian keuangan, siapa yang mencari pelanggan, dan lain sebagainya.
Selain kemampuan, selayaknya teman kongsi juga harus memiliki visi dan misi yang sama dalam mengelola usaha. Kasarnya, pahit-pahitnya harus diutarakan di depan. Jangan sampai diselatankan kemudian.
Hal yang harus dibicarakan itu banyak. Semuanya tertulis jika perlu. Walaupun demikian, ada juga hal lain yang tidak tertulis. Cari tahu rekam jejak mereka yang ingin menjadi teman kongsian. Jika informasi yang didapatkan hanya berdasarkan "katanya", sebaiknya jangan.
Awas Delusi
Ini bukan delusi dalam istilah kesehatan jiwa, tapi ada pemahaman bisnisnya. Misalkan begini, tiga orang bekerja sama untuk membuka sebuah usaha. Masing-masing menyetor 10 juta rupiah sebagai modal awal.
Seiring waktu berjalan, ternyata modal tersebut tidak cukup. Lalu harus ada penambahan setoran modal sebesar masing-masing 5 juta rupiah. Si A dan si B menyetujuinya, tapi nahas bagi si C. Ia tidak memiliki uang lagi.
Akhirnya, 5 juta yang seharusnya disetor oleh si C ditanggung renteng oleh si A dan si B, masing-masing Rp2,5 juta. Sebagai bayaran, si C harus merelakan sebagian sahamnya tergerus alias delusi.
Menurut saya sih, ini praktik bisnis yang tidak cengli. Seharusnya kemungkinan seperti ini bisa dibahas di depan. Bisa saja si C iklhas, tetapi azas kesetaraan ternodai di sini.
Menghadapi situasi seperti ini, saya lebih memilih jalan tengah. Jika terpaksa harus menambah modal karena potensi, maka gunakanlah pinjaman. Bisa dari bank atau institusi/perorangan dengan beban finansial yang masuk akal. Biaya bunga dari pinjaman tersebut dijadikan biaya bersama.
Tapi, kalau penambahan modal karena bisnis lesu. Maka tibalah waktunya untuk cek-out. Bubarkan sedini mungkin atau dengan menjual sahammu kepada mereka yang masih optimis.
Catatan tersendiri:Â Berhati-hati dengan praktik kecurangan bisnis. Delusi adalah model lama yang marak digunakan pengusaha raksasa zaman dulu untuk mencaplok bisnis dari partnernya yang memiliki modal tanggung. Saya sudah pernah menjadi korbannya.
Exit Strategy
Tidak ada yang namanya keabadian. Dalam filsafat Buddhisme disebut sebagai Anicca, bahasa Inggrisnya Impemenance. Sederhananya, sebesar apapun bisnis suatu waktu ia tidak akan menjadi milik kita.
Pegusaha besar yang sudah mapan biasanya telah memikirkan langkah suksesi. Seandainya ia meninggal, ada saja generasi penerus yang kebagian jatah.
Tapi, pengusaha tanggung seperti saya, kamu, kamu, dan kamu, exit strategy tiada bedanya dengan rute penyelematan diri di dalam gedung-gedung pencakar langit. Harus jelas, agar tidak mati penasaran dan jadi dedemit. Meskipun namanya exit, sejatinya harus dipikirkan sejak dini.
Baca juga: Tips Menghadapi Kebangkrutan Tanpa Ketakutan
Apa yang harus dipikirkan?
Yang pertama, jika bisnis gagal berapa besar kerugianmu? Masihkah ada tabungan untuk menopang hidup? Adakah pekerjaan lain untuk menyambung hidup baru?
Yang kedua, sakitnya tuh sampai dimana. Artinya sebatas mana kerelaanmu ada jika bisnis gagal. Pikiran seperti ini sudah harus terbentuk sebelum menyetor uangmu. Tapi, bukan berarti tidak boleh bersemangat ya. Harus tetap optimis dengan kenyataan terburuk (semoga tidak).
Wasana Kata
Dalam dunia bisnis seorang pengusaha yang memiliki jiwa entreprenurship adalah blending yang paling bagus. Menjalankan bisnis seperti biasa dengan kreatifitas yang luar biasa.
Tapi, jangan pula menjadi gegabah. Pada akhirnya selalu ingat bahwa tujua dari berbisnis adalah mencari keuntungan, bukan gengsi-gengsian. Seorang pengusaha juga harus memikirkan skenario terburuk dan tidak terjebak dalam kekecewaan yang tak berujung. Sadar kesehatan jiwa topilnya.
Jika sudah memahami beberapa hal yang saya sebutkan, berarti Anda telah memiliki bibit dalam kedewasaan berbisnis. Namun menjadi entrepreneur sejati itu memang susah-susah gampang. Selalu ada godaan di tengah jalan.
Oleh sebab itu, jadilah seorang pengusaha yang dapat menyeimbangkan bisnis dan etika. Sesuatu yang saya nilai sudah mulai jarang ditemukan akhir-akhir ini. Mencari Mata Pencaharian Benar temanya.
Jadi teringat pesan mama, "uang di dalam (keluarga) tidak akan hilang tapi akan habis. Akan tetapi uang di luar sana tidak akan habis namun bisa hilang jika tidak dicari."
Artinya, pandai-pandailah melihat kesempatan. Jangan tergiur dengan bibir merah yang berbisa, tetapi dapatkanlah lipstik yang sudah lolos tes kelayakan. Kamu, kamu, dan kamu bisa menorehkannya kepada setiap bibir di dunia ini. Sulaplah mereka menjadi sosok yang jelita nan mempesona.
Semoga Bermanfaat
**
Acek Rudy for Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H