Hal yang harus dibicarakan itu banyak. Semuanya tertulis jika perlu. Walaupun demikian, ada juga hal lain yang tidak tertulis. Cari tahu rekam jejak mereka yang ingin menjadi teman kongsian. Jika informasi yang didapatkan hanya berdasarkan "katanya", sebaiknya jangan.
Awas Delusi
Ini bukan delusi dalam istilah kesehatan jiwa, tapi ada pemahaman bisnisnya. Misalkan begini, tiga orang bekerja sama untuk membuka sebuah usaha. Masing-masing menyetor 10 juta rupiah sebagai modal awal.
Seiring waktu berjalan, ternyata modal tersebut tidak cukup. Lalu harus ada penambahan setoran modal sebesar masing-masing 5 juta rupiah. Si A dan si B menyetujuinya, tapi nahas bagi si C. Ia tidak memiliki uang lagi.
Akhirnya, 5 juta yang seharusnya disetor oleh si C ditanggung renteng oleh si A dan si B, masing-masing Rp2,5 juta. Sebagai bayaran, si C harus merelakan sebagian sahamnya tergerus alias delusi.
Menurut saya sih, ini praktik bisnis yang tidak cengli. Seharusnya kemungkinan seperti ini bisa dibahas di depan. Bisa saja si C iklhas, tetapi azas kesetaraan ternodai di sini.
Menghadapi situasi seperti ini, saya lebih memilih jalan tengah. Jika terpaksa harus menambah modal karena potensi, maka gunakanlah pinjaman. Bisa dari bank atau institusi/perorangan dengan beban finansial yang masuk akal. Biaya bunga dari pinjaman tersebut dijadikan biaya bersama.
Tapi, kalau penambahan modal karena bisnis lesu. Maka tibalah waktunya untuk cek-out. Bubarkan sedini mungkin atau dengan menjual sahammu kepada mereka yang masih optimis.
Catatan tersendiri:Â Berhati-hati dengan praktik kecurangan bisnis. Delusi adalah model lama yang marak digunakan pengusaha raksasa zaman dulu untuk mencaplok bisnis dari partnernya yang memiliki modal tanggung. Saya sudah pernah menjadi korbannya.
Exit Strategy
Tidak ada yang namanya keabadian. Dalam filsafat Buddhisme disebut sebagai Anicca, bahasa Inggrisnya Impemenance. Sederhananya, sebesar apapun bisnis suatu waktu ia tidak akan menjadi milik kita.
Pegusaha besar yang sudah mapan biasanya telah memikirkan langkah suksesi. Seandainya ia meninggal, ada saja generasi penerus yang kebagian jatah.
Tapi, pengusaha tanggung seperti saya, kamu, kamu, dan kamu, exit strategy tiada bedanya dengan rute penyelematan diri di dalam gedung-gedung pencakar langit. Harus jelas, agar tidak mati penasaran dan jadi dedemit. Meskipun namanya exit, sejatinya harus dipikirkan sejak dini.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!