Namun sepertinya pernyataanku tidak memuaskan Andrew. Perkaranya, tepat di hadapan kami ada seorang pejalan kaki yang menyeberangi jalan dengan gaya lincah-habis. Ia berlari, berhenti, mengangkat tangannya, dan berlari lagi. Tidak pakai helm lagi.
Sebelum Andrew sempat bertanya, aku segera menjawab, "Lihatlah, bagaimana tidak tenangnya dia tanpa helm.Kamu tahu kenapa ia tampak buru-buru? Helmnya ketinggalan di rumah." Andrew puas dengan jawabanku.
Perjalanan kami berlanjut, dan mobil sempat terhenti di perempatan jalan yang padat merayap. Pasalnya ada sebuah truk yang parkir seenak udel di badan jalan. Terlihat supirnya buru-buru menurunkan barang.
Klakson berbunyi serentak dari para pengguna jalan yang kesal. Bagi pegemudi Amerika, klakson laksana bunyi petir. Jika tidak benar-benar marah, dilarang dibunyikan di sana.
Saya pun ikut-ikutan membunyikan klakson. "Kamu marah, Rudy?"
"Tidak Andrew, itu kebiasaan kami membantu sesama. Siapa tahu saja si pengemudi truk butuh bantuan." Dan Andrew kembali mengangguk-anggukan kepalanya.
Klakson tidak berhenti, meskipun kami telah berhasil melewati truk tersebut. "Apakah ada kerusuhan, Rud?" Sepertinya susah bagi Andrew untuk menjauhkan pikirannya bahwa klakson sama dengan marah.
Aku kembali menjawab sekenanya, "Itu hip-hip hura, Andrew. Si supir sepertinya sudah menemukan seseorang yang bersedia membantunya."
Adrew terdiam, ia sepertinya paham bahwa kearifan lokal Indonesia masih terlalu berat bagi otak paman sam-nya.
Tak lama kemudian, kami pun akan segera tiba di sebuah minimarket dekat rumah. Aku menyalakan lampu sein kiri, tanda ingin parkir. Tapi, harus bersabar sejenak. Masih banyak motor yang melewati kendaraanku dengan gaya ugal-ugalan.
Andrew kembali mengernyitkan dahinya, "apakah mereka tidak tahu arti dari lampu sein?"