Awalnya diriku tidak terlalu memperhatikan. Lagipula di sekitar sana tidak ada kolam, bagaimana mungkin ada teratai?
Tapi, sepertinya Ira bisa membaca pikiranku, "ini yang dipegang, bukan yang diduduki," sambil menunjuk ke arah sejenis tanaman berbentuk kurus tinggi yang berada dekat dinding pagar.
"Yang Liu," saya langsung teringat.
Mungkin saja kita sering luput memperhatikan. Dalam beberapa lukisan dewi Kwan Im, ada semacam kendi kecil yang selalu dipegang di tangan kiri. Sementara tangan kanannya menggenggam sejenis daun berukuran kecil. Nah, itulah Yang Liu.
Bahasa ilmiahnya adalah Salix babylonica, bahasa inggrisnya adalah Babylon willow atau juga Weeping willow. Pohonnya besar, bisa mencapai 20 hingga 25 meter tingginya.
Daunnya berbentuk spiral dengan panjang 4 hingga 16 senti. Berjumbai banyak, lemas dan panjang ke arah bawah. Jika dilihat sekilas, mirip air mata yang berurai. Tidak heran jika bangsa bule memberikannya nama weeping (tangisan).
Jenis tanaman ini tumbuh di daratan Asia dan Eropa. Usianya cukup panjang, berkisar antara 40-75 tahun. Â
Nah, di Indonesia kita mengenalnya dengan nama Janda Merana. Meskipun janda merana bukan hanya milik tanaman Yang Liu ini saja. Dari catatan referensi yang saya temukan, nama Janda Merana juga dimiliki oleh tanaman Lee kwan yew (Vernonia eliptica).
Mengapa dinamakan Janda Merana? Saya belum menemukan catatan resminya. Tapi, dugaan saya karena bentuknya yang seperti tangisan.
Kembali kepada penggambaran dewi Kwan Im dan tanaman Yang Liu-nya. Dewi Kwan Im dikenal sebagai dewi welas asih. Kisahnya mengandung makna filsafat, bahwa kasih sayang akan menaklukkan segalanya. Â
Tapi, saya masih penasaran, mengapa ia memegang Yang Liu? Bukannya masih banyak tumbuhan lain yang juga bisa menjadi pilihan. Untuk menjawab pertanyaan ini, tentunya kita harus sedikit mengulik tentang sejarah dan budaya bangsa Tionghoa.