Mahfud MD mengatakan; "Kita membuat PeduliLindungi untuk melindungi rakyat, nyatanya keberhasilan kita lebih baik dari Amerika."
Pernyataan ini bukannya tanpa alasan. Ada datanya dari Insititut Lowy, Australia. Indonesia berada pada posisi atas. Sementara Amerika berada pada bagian bawah, setara dengan Iran dan Meksiko.
Menko Perekonomian Airlangga Hartanto juga tidak mau kalah. Ia mengatakan, jumlah laporan pelanggaran HAM Amerika justru jauh lebih banyak dari Indonesia.
Dalam kurun waktu 2018-2021, Indonesia mendapatkan 19 laporan. Sementara Amerika sendiri terdapat 76 kasus.
Tapi tidak perlulah terlalu jauh. Amerika sebagai embahnya hak asasi manusia seharusnya sadar bahwa standarisasi HAM itu tidak bisa dipaksakan.
Lain lubuk lain belalang. Perbedaan budaya hingga kearifan lokal adalah warisan moyang sejak lama. Jauh lebih dulu ada sebelum Amerika Serikat itu lahir.
Pelanggaran HAM seharusnya menyentuh hak dasar manusia. Seperti hak hidup, hak mencari makan, hingga hak untuk diperlakukan setara.
Memangnya Amerika sudah seperti itu? Ada kasus Black Lives Matter yang nyata-nyata merupakan pelanggaran HAM terhadap kaum kulit hitam di sana.
Kantor Berita Nasional China, Xinhua bahkan mengklaim adanya perlakuan diskriminatif pada layanan kesehatan Amerika. Mereka memiliki data, sebagian besar korban Covid yang tewas berasal dari warga masyarakat kulit berwarna.
Senada dengan klaim Xinhua, data terbaru dari APM Research Lab non-partisan mengungkapkan jika angka sekarat kulit hitam adalah 50,3 per 100.000 orang. Bandingkan jumlah ini dengan 20,7 untuk warga kulit putih.
Jadi, terlepas dari tuduhan Amerika terhadap pelanggaran HAM akibat aplikasi PeduliLindungi, ada baiknya kita acuhkan saja.