Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Utang Indonesia, Belajar dari Kebangkrutan Sri Lanka

14 April 2022   20:27 Diperbarui: 16 April 2022   07:15 2929
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi utang negara terus naik. Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Saya baru saja bertemu kawan lama yang pulang kampung dari Jakarta. Mengundangnya makan siang, lanjut dengan ngopi hingga petang.

Sebagaimana biasanya, nostalgia masa lalu tidak saja mengisi pembicaraan. Tapi, juga tentang isu teranyar. Kondisi ekonomi, politik, hingga masa depan bangsa.

Entah mengapa, saya merasa tidak terlalu nyaman pada saat kami berbincang mengenai utang pemerintah. Jelas, bukan dalam kapasitas saya untuk membedahnya.

Cakupannya terlalu luas, membutuhkan pendapat ekonom dan pejabat pemerintah.

Ketegangan bersambung hingga ke kondisi Srilanka. IMF mencatat jika negara tersebut gagal membayar utang. Totalnya sekitar 51 miliar dollar AS. Atau setara 732 triliun rupiah.

Untungnya, perbincangan diiring santai. Menggeser kekhwatiran dengan perbincangan ringan.

"Katakanlah kamu hanya berutang 2 miliar saat kamu berbisnis. Tapi, setelah bisnis dilanjutkan anakmu, tidak sampai 10 tahun, utangnya membengkak hingga 7 miliar."

Mencengangkan, iya!

Bukan rahasia lagi, kawan saya ini merujuk kepada komposisi utang pemerintah era SBY dan Jokowi. Sebagai perbandingan, masa berakhirnya pemerintahan SBY 2014 lalu, utang negara sebesar 2.608,78 triliun. Saat ini utang pemerintahan Jokowi sudah mencapai 7.014,58 triliun.

Melihat angka-angka fantastis tersebut, tentu saja ada perasaan was-was. Apa yang akan terjadi dengan negara ini? Apakah rakyat nanti akan ikut menanggung beban utang pemerintah? Apalagi ada contoh di Sri Lanka.

Jangan dulu terlalu khwatir...

Sebagai pengusaha, saya punya perkiraan sederhana. Apakah kenaikan utang sesuai dengan kenaikan pendapatan? Apakah aset saya melebihi total utang?

Dan apakah pendapatan saya bisa membayar utang jangka pendek dan panjang. Itu dulu yang harus dihitung, jangan dulu berpikiran macam-macam.

Pemikiran sederhana inilah yang akan saya uraikan dalam tulisan ini. Semoga bisa bermanfaat bagi kamu, kamu, dan kamu yang juga khwatir seperti saya.

Rasio Utang terhadap PDB

Utang tidak bisa diliat dari angka saja. Harus ada angka pembanding, atau indikator. Dalam hal ini adalah Rasio Utang terhadap PDB. Dalam bahasa pedagang, rasio utang terhadap pendapatan (omzet).

Jokowi mencatat sebesar 40,17% per Februari 2022. Naik hampir dua kali lipat dari 24,7% pada akhir 2014. Namun, batasan yang diberlakukan oleh undang-undang adalah 60%. Artinya masih ada gap sekitar hampir 20%.

Kendati demikian, Indonesia juga harus berhati-hati. Karena angka 60% menandakan bahwa negara sudah terlilit dengan "jebakan utang." Sebuah kondisi dimana kita tidak sanggup lagi membayar utang, dan harus berutang lagi untuk membayarnya.

Apakah Indonesia pernah melebihi standar ini?

Pernah. Krisis ekonomi 1998, Rasio utang Indonesia terhadap PDB mencapai angka 58%. Naik sebanyak 20% dari tahun sebelumnya (1997). Rasio tersebut adalah rekor tertinggi selama masa orde baru.

Pada tahun berikutnya, melunjak lagi. Mencapai 85% pada 1999, dan 89% pada 2000. Itu rekor tertinggi sepanjang sejarah.

Gus Dur mewarisi duka masa lalu, tapi hanya sebentar saja. Karena sejak saat itu, Rasio Utang Pemerintah terus menurun hingga era SBY. Pada tahun 2012, rasio ini sisa mencapai 23%.

Lalu naik lagi pada 2013 (24,9%), kemudian turun sedikit pada 2014 (24,74%). Sejak saat itu, Rasio Utang Pemerintah terhadap PDB terus naik hingga saat kini.

Utang Indonesia, Belajar dari Kebangkrutan Srilanka (gambar: republika.co.id)
Utang Indonesia, Belajar dari Kebangkrutan Srilanka (gambar: republika.co.id)

Adakah yang perlu dikhwatirkan?

Mengutip laman Kemenkeu.go.id Utang akan menjadi baik jika dikelola baik. Dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan produktif dan memiliki efek jangka panjang. Di antaranya adalah untuk kesehatan, pendidikan, dan juga Infrastruktur.

Lantas mengapa negara berutang?

Masih dari laman yang sama, ada dua penyebab. Yang pertama adalah kebijakan fiskal Indonesia yang agresif. Dimana Belanja Negara lebih besar dari Pendapatan Negara. Hal ini dilakukan agar ekonomi tetap bertumbuh.

Kedua, Indonesia masih ketinggalan infrastruktur. Konektivitas menjadi masalah, sehingga biaya transportasi menjadi mahal. Jadilah, jalanan, jembatan, MRT hingga rel kereta api digebyer, agar pertumbuhan ekonomi juga tercapai.

Indonesia bukan yang tertinggi

Kendati demikian, Rasio Utang pemerintah masih belum yang tertinggi. Melansir data dari Kompas.com, masih ada Perancis (110,01%), ada Italia (148,84%), dan ada Jepang sebagai yang tertinggi (177,08%)

Melihat kondisi Jepang dan negara lainnya, apakah ini berarti kita bisa menarik napas lega?

Tergantung dari perbandingan pertumbuhan ekonomi dan defisit neraca perdagangan. Pertumbuhan ekonomi 2021 adalah sebesar 3,69%. Sementara secara keseluruhan, Indonesia juga mengalami surplus neraca perdagangan sebesar 35,34 miliar dollar AS. Sumber: bi.go.id

Dengan kata lain, penambahan utang pemerintah memberikan sesuatu yang bermanfaat. Beberapa negara di dunia bahkan mengalami minus pertumbuhan ekonomi dan neraca perdagangan juga defisit.

Bagaimana dengan Sri Lanka?

Menarik melihat jika Rasio Utang Terhadap PDB Srilanka juga bukan tertinggi. Data terakhir yang saya dapatkan pada 2020, "hanya" sebesar 60,9% saja.

Sayangnya saya kesulitan mendapatkan data terbaru. Tapi, sejak 20 tahun terakhir rasio ini naik-turun di angka 54% hingga 67%.

Seperti yang dilaporkan, Srianka mengalami kondisi gagal pembayaran utang. Cadangan negara tersebut adalah 2,31 miliar dollar AS. Sementara utang yang harus dibayar sekitar US$ 4 miliar.

Apa yang terjadi?

Produk Domestik Bruto Srilanka mayoritas berasal dari ekspor tanaman pertanian, seperti kopi, teh, karet, dan rempah-rempah. Devisa lainnya berasal dari sektor parawisata.

Selama Covid, pendapatan negara menurun drastis. Cadangan devisa anjlok hampir 70% dalam dua tahun.

Sektor pariwisata terpuruk, sementara ekspor tidak digiatkan. Sejak 2009, pemerintah lebih memilih berfokus menjual hasil pertaniannya ke luar negeri.

Akibatnya, pemerintah kekurangan mata uang asing untuk membeli barang impor. Padahal penduduk Srilanka masih bergantung pada impor bahan-bahan pokok, seperti bahan bakar, makanan, dan obat-obatan.

Lucunya lagi, meski kekurangan pendapatan, Presiden Rajapaksa malahan melakukan pemotongan pajak besar-besaran. Hal ini terkait janji politiknya pada 2019 lalu.

Lalu krisis pangan pun terjadi. Bukan karena alam, tapi karena pemerintah melarang impor pupuk kimia pada 2021 lalu. Alasannya, karena mengerus devisa negara. Akibatnya, banyak panen yang gagal.

Terakhir adalah proyek ambisius. Banyak pengamat yang berkata jika pemerintah Sri Lanka terlalu boros mendanai proyek infrastruktur yang tidak perlu.

Hanya tinggal tunggu waktu, kondisi terburuk belum bisa diprediksi.

Nilai mata uang Rupee Sri Lanka terjerembab lebih dari 30 persen terhadap dollar AS. Akibatnya pendapatan ekspornya pun menurun tajam. Semakin sedikit barang yang bisa diimpor.

Pemerintah telah bernegosiasi dengan lembaga pemberian pinjaman. Tapi, dengan turbulensi ekonomi, tidak banyak utang baru yang bisa didapat. Akibatnya cadangan negara hanya bisa digunakan untuk membayar utang bunga saja.

Di dalam negeri sendiri, bahan bakar krisis. Pemadaman panjang terjadi. Krisis ekonomi, inflasi tinggi hingga puluhan persen. Masyarakat marah, demo terjadi secara sporadis.

**

Melihat kondisi Sri Lanka ini, seharusnya kita bisa sedikit menarik napas lega. Semoga dengan penjelasan singkat ini, kengerian kita terhadap angka utang Indonesia bisa sedikit mereda.

Negara kita masih dalam koridor yang baik. Terlepas dari satu dua permasalahan yang masih menjadi PR pemerintah.

Semoga memang demikian adanya.

 **

Referensi: 1 2 3 4 5 6

**

Acek Rudy for Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun