Lucunya lagi, meski kekurangan pendapatan, Presiden Rajapaksa malahan melakukan pemotongan pajak besar-besaran. Hal ini terkait janji politiknya pada 2019 lalu.
Lalu krisis pangan pun terjadi. Bukan karena alam, tapi karena pemerintah melarang impor pupuk kimia pada 2021 lalu. Alasannya, karena mengerus devisa negara. Akibatnya, banyak panen yang gagal.
Terakhir adalah proyek ambisius. Banyak pengamat yang berkata jika pemerintah Sri Lanka terlalu boros mendanai proyek infrastruktur yang tidak perlu.
Hanya tinggal tunggu waktu, kondisi terburuk belum bisa diprediksi.
Nilai mata uang Rupee Sri Lanka terjerembab lebih dari 30 persen terhadap dollar AS. Akibatnya pendapatan ekspornya pun menurun tajam. Semakin sedikit barang yang bisa diimpor.
Pemerintah telah bernegosiasi dengan lembaga pemberian pinjaman. Tapi, dengan turbulensi ekonomi, tidak banyak utang baru yang bisa didapat. Akibatnya cadangan negara hanya bisa digunakan untuk membayar utang bunga saja.
Di dalam negeri sendiri, bahan bakar krisis. Pemadaman panjang terjadi. Krisis ekonomi, inflasi tinggi hingga puluhan persen. Masyarakat marah, demo terjadi secara sporadis.
**
Melihat kondisi Sri Lanka ini, seharusnya kita bisa sedikit menarik napas lega. Semoga dengan penjelasan singkat ini, kengerian kita terhadap angka utang Indonesia bisa sedikit mereda.
Negara kita masih dalam koridor yang baik. Terlepas dari satu dua permasalahan yang masih menjadi PR pemerintah.
Semoga memang demikian adanya.