Ekonomi yang tumbuh besar-besaran membuat pemerintah dan rakyat AS lupa diri. Konsumsi naik berkali-kali lipat, investasi bertumbuh di segala lini, dan spekulasi di pasar saham melejit.
Hampir semua warga AS membeli saham, dengan harapan keuntungan mereka bisa naik berkali-kali lipat. Dari para spekulan hingga petugas kebersihan. Semuanya tergiur.
Pengusaha menggunakan uang pinjaman bank untuk membeli saham, pegawai menghabiskan uang tabungan demi meraup keuntungan.
Padahal di masa itu, gaji di Amerika belumlah terlalu tinggi. Hanya cukup untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Akibatnya harga saham meroket tidak wajar. Melebihi kenyataan akibat tingginya harapan.
Black Thursday dan Black Tuesday
Lalu, pada September 1929 harga saham mulai turun perlahan. Masyarakat panik. Mereka takut jika tabungan mereka terkuras. Puncaknya terjadi 24 Oktober 1929.
Dalam sehari hampir 13 juta lembar saham dilego. Efek domino berlangsung, dalam sehari penurunan harga saham turun sebanyak 11 persen. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan Black Thursday.
Lima hari kemudian, Black Tuesday menyusul. Enam belas juta lembar saham kembali berpindah tangan. Mereka yang tadinya masih optimis, sudah mulai meringis.
Depresi Besar Dimulai
Dari sinilah Depresi Besar dimulai. Gabungan yang mengerikan dari krisis pasar saham, krisis ekonomi, dan krisis kepercayaan terhadap pemerintah.
Daya beli menurun, investasi menyusut, pabrik-pabrik banyak yang tutup. Akibatnya, pengangguran meningkat.