Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Stres, Apes, Bokek? Cobalah Tidur di Dalam Peti Mati

8 Februari 2022   05:33 Diperbarui: 8 Februari 2022   05:44 1709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stres, Apes, Bokek? Cobalah Tidur di Dalam Peti Mati (coconuts.co)

Setiap orang dapat dengan enteng berkata, "pada akhirnya kita semua akan mati." Tapi, apakah kita semua siap untuk mati sekarang?

Tidak bisa dipungkiri jika kematian memang menakutkan. Terlebih lagi bagi para pengidap Necrophobia. Alias ketakutan terhadap benda-benda yang berhubungan dengan mayat. Seperti kain kafan, gambar hantu, hingga peti mati.

Ketakutan ini kemudian berkembang menjadi berbagai jenis penyakit jiwa lainnya.

Namun, bagi mereka yang stres, usaha mencari kematian justru kadang yang menjadi pilihan. Berusaha untuk bunuh diri karena itu dianggap sebagai sebuah solusi.

Nah, untuk mengakomodasi stress akibat kedua hal ini, ada sebuah terapi yang sedang digandrungi oleh banyak orang di berbagai negara.

China

Terapi tidur di dalam peti mati sedang populer di China. Ditawarkan oleh sebuah klinik psikoterapi di sana. Tujuannya untuk mengatasi stress. Diharapkan para pasien akan merasa lebih baik setelah bangkit dari "kematian".

Sebuah ruangan seluas lima meter persegi menjadi tempat "eksekusi". Peserta diminta menulis pesan terakhir. Langkah selanjutnya adalah masuk ke dalam peti mati dengan wajah yang ditutup secarik kain putih.

Untuk menghantar jiwa ke "alam baka", lagu-lagu prosesi jenasah pun dilantunkan. Tapi, tidak pakai lama. Hanya lima menit saja. Tangisan bayi menjadi petanda bahwa si pasien telah kembali "lahir".

Apakah efektif? Yang pasti pesertanya sudah mencapai angka ribuan. Dan banyak di antara mereka yang mengaku jika terapi ini benar-benar bisa mengubah mereka menjadi orang yang baru. Konon hidup terasa lebih berharga.

Ukrainia

Adalah Stepan Piryanyk yang memulainya. Sang pengrajin kotak menemukan ide tersebut dari kebiasaan neneknya sendiri.

Menurut Priyanyk, tradisi keluarga mereka adalah menyimpan sebuah peti mati di lantai atas rumah. Sang nenek malah menggunakannya sebagai tempat bersantai di sore hari. Ia tidur di dalamnya. Konon kegiatan tersebut membuat neneknya rileks.

Entah apakah Priyanyk juga sempat melakukan hal yang sama. Namun, ide tersebut ia jual ke khayalak ramai sebagai cara untuk hidup lebih tenang.

Prosesinya hampir sama dengan di China, tapi waktunya saja yang lebih lama. Hingga lima belas menit. Pasien juga bisa memilih, mau tidur dalam keadaan peti mati terbuka, atau tertutup.

Salah satu pelanggan tetapnya mengakui, jika tempat Priyanyk menjadi tujuannya bersantai setiap akhir kerja. Hal tersebut membuat dirinya seolah-olah selalu menjadi orang baru.

Korea Selatan

Konsepnya sama, meskipun di Korea Selatan disebutkan bahwa tujuannya agar warganya lebih menghargai hidup. Di sana, layanan ini bahkan sudah dilakukan sejak 2012.

Perlu dipahami bahwa Korea Selatan sekarang menduduki negara dengan paling banyak kasus bunuh diri di Asia. Di dunia mereka berada pada urutan ke-empat.

Adalah Hyowon Healing Center yang memprakarsai. Sejak pertama kali dicetuskan, dikabarkan bahwa sudah 25.000 orang yang mengikuti sesi ini.

Selain prosesi, surat wasiat, dan lagu-lagu pengiring jenasah, para partisipan juga wajib difoto dengan pakaian jenasah.

Hal ini agar terapi tersebut tidak hanya bersifat sementara, bisa dijadikan kenang-kenangan hingga mereka benar-benar meninggal.

Tidak ada spesifikasi umur. Dari mahasiswa hingga lanjut usia, semua turut berpartisipasi. Bukankah kematian tidak memandang usia?

Jepang

Beda lagi dengan di negari Sakura ini. Peti mati juga dijadikan sebagai ajang pelepas stress. Tapi, dalam bentuk pertunjukan horor.

Sebuah perusahaan hiburan di sana baru-baru ini menawarkan sebuah pertunjukan yang dinamakan Scare Squad. Pengunjung diminta berbaring di dalam peti mati berjendela sambil mendengarkan kisah-kisah seram.

Ada juga efek semprotan air dan tangan iseng yang mencolek. Juga para aktor yang menyamar menjadi hantu.

Menurut pengelola, pandemi covid-19 telah banyak membuat warganya stress. Ia berpendapat jika berteriak akan menjadi semacam terapi yang baik untuk melepas kegalauan.

Thailand

Pendekatan negara ini berbeda lagi. Terapi peti mati juga dikenal di sana, tapi dalam bentuk ritual. Bahkan konon sudah sejak zaman dahulu.

Adalah Kuil Wat Bangna Nai di pinggiran kota Bangkok yang menyelenggarakannya. Setiap hari, mereka bisa menampung hingga seratus peserta.

Para partisipan wajib memegang seikat bunga. Selanjutnya mereka pun masuk ke dalam peti mati. Lantas sehelai kain menutupi dan mereka berbaring diiringi lantunan doa para biksu.

Bagi sebagian orang prosesi ini bisa mengurangi stress. Tapi, lebih banyak lagi yang menganggapnya sebagai ritual tolak bala. Tidak sedikit pula yang menganggapnya sebagai upacara bawa hoki.

Peserta hanya perlu membayar sekitar 100 baht (setara dengan Rp.50.000). Itu sudah termasuk harga bunga, lilin, dan pakaian.

Uniknya, mereka yang mati harus menghadap barat, dan bangkit kembali setelah peti mati diputar balik ke arah timur. Mengikuti arah matahari terbit dan terbenam sebagai lambang pergi dan kembali lagi.

Bukan hanya di Kuil Wat Bangna Nai. Beberapa kuil juga dikabarkan mempunyai jasa layanan yang sama karena membludaknya permintaan dari warga setempat.

Meskipun banyak yang protes, tapi seorang biksu yang memimpin ritual tersebut mengatakan;

"Tidak penting Anda percaya atau tidak, tapi penting untuk merenungkan kematian. Semua orang akan mati pada akhirnya, dan sebaiknya berhati-hati."

**

Di Indonesia tidak ada terapi seperti ini, tapi menarik mengingat bagaimana Pemda DKI pernah memberikan hukuman bagi pelanggar PPKM pada akhir 2020 lalu.

Sanksi diberikan dalam dua bentuk. Menyapu jalan selama satu jam atau tidur di dalam peti mati untuk beberapa menit.

Ternyata para pelanggar lebih banyak memilih sanksi kedua untuk mempersingkat waktu.

Dilansir dari Kompas.com, beberapa pelanggar mengaku kapok dan berkata sudah bersedia untuk selalu menggunakan masker.

Andaikan ada data-datanya, menarik untuk melihat perkembangan mereka. Apakah hidup mereka berubah, atau jejangan mereka sudah tiada.

**

Terlepas dari apakah ritual atau terapi ini efektif, tapi banyak yang mengakui jika mereka seolah-olah terlahir kembali.

Kita tidak pernah tahu apakah ini hanya sekadar sugesti atau memang punya khasiat tersembunyi. Lagipula penulis tidak pernah mencobanya.

Namun, penulis jadi ingat sebuah mitos lama -- konon jika Anda diisukan sudah mati, maka panjang umur adalah imbal baliknya.

Entah apakah kepercayaan ini berhubungan dengan terapi peti mati yang tergolong unik ini.

**

Referensi: 1 2 3 4

**

Acek Rudy for Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun