Pertama.
Memang benar, jumlah TKA dari RRC adalah yang terbanyak dari jumlah TKA hingga Mei 2021. Jumlahnya setara dengan 36% dari total TKA. Atau 35.781.
Sementara berdasarkan data dari Kementerian Tenaga Kerja, jumlah ini menurun dari tahun-tahun sebelumnya. Dari 95.168 (2019) menjadi 93.374 di tahun 2020. Dan turun lagi hingga 92.058 pada Mei 2021(sumber: nasional.kontan)
Nah, jika ada penurunan jumlah, maka dengan sendirinya kalimat "eksodus di masa pandemi" sudah tidak berlaku lagi. Sebabnya masa pandemi itu dimulai dari 2020-2021. (sumber: tempo)
Kedua.
Kedatangan pekerja ini tentu bukan tanpa alasan. Selain dari RRC, posisi kedua dan ketiga dipegang oleh Jepang dan Korea Selatan. Masing-masing dengan jumlah 12.823 dan 9.097 pekerja.
Menurut Menaker jumlah "eksodus" tersebut sejalan dengan besarnya investasi dari China. Perlu dipahami bahwa selama 3 tahun terakhir, China, Singapura, dan Jepang masuk dalam 3 besar negara dengan investasi terbesar di Indonesia. (sumber: databoks.katadata)
Ketiga.
Banyak itu luas defenisinya. Dalam satu perusahaan misalkan, seberapa banyak-kah batasan TKA di dalamnya? Sepuluh persen, dua puluh, atau lebih dari setengah?
Ambil contoh dari sektor pertambangan. Menurut Menteri LBP, di Kawasan Industri Morowali, jumlah pekerja Aseng ada sebanyak 3.500 orang. Total pekerja yang di sana sekitar 50.000. Aseng di Morowali tidak sampai 10%. (sumber: ekonomi.bisnis)
Menurut Luhut juga, TKA tersebut dibutuhkan karena pemahaman teknologi, dan juga pengawasan jalannya investasi. Ini belum termasuk kendala teknis di lapangan, seperti masalah bahasa, tulisan, hingga budaya kerja.