Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Konvoi Mobil Mewah di Masa Keemasan "Catatan si Boy"

30 Januari 2022   19:49 Diperbarui: 30 Januari 2022   19:51 785
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Konvoi Mobil Mewah di Masa Keemasan "Catatan si Boy" (tirto.id)

Era 1980-an adalah masa dimana mobil eropa pertama kali dikenal luas. Sebelumnya, Mercy, Volvo, dan BMW identik dengan kendaraan dinas pejabat dan milik pengusaha besar di kawasan perkotaan. Paling tidak, itu yang ada dalam benakku.

Namun, sejak fim Catatan si Boy (1987) meledak, kepemilkan mobil mewah menjadi sebuah fenomena baru tersendiri.

Bukan lagi sebagai alat transportasi, tapi lebih banyak buat dipamer. Buatan Eropa tentu berada pada level teratas, namun merek-merek lainnya juga tidak kalah mentereng.

Minggu sore, di sepanjang pantai Losari, kota Makassar, mobil warna-warni akan terlihat berjejer. Pengemudinya tidak berada di dalam, tapi berdiri di luar lengkap dengan kacamata hitamnya.

Sesekali mereka menyapa pengendara motor yang dikenali melintas di sana. Hidung kembang-kempis, karena sudah berhasil mewujudkan cita-cita menjadi seperti si Boy.

Setidaknya itulah yang terjadi di kota Makassar pada saat diriku masih remaja. Fenomena Catatan si Boy, itulah yang saya rasakan.

**

Boy yang diperankan oleh Onky Alexander mewakili kehidupan metropolitan Indonesia pada tahun 80an. Puncak keemasan Indonesia dan juga era kejayaan Soeharto.

Waktunya pas, ekonomi Indonesia sedang menikmati panen dari hasil minyak bumi. Swasembada pangan tercapai, tingkat konsumsi naik drastis, bisnis baru bertumbuh di mana-mana.

Tidak banyak hal yang harus dipusingkan, karena medsos belumlah lahir. Tidak banyak hal yang menganggu pikiran, karena video viral bukanlah ancaman.

Menjadi si Boy adalah kebanggaan, ia tidak punya musuh. Sebabnya siapa yang berani bikin ricuh. Menjadi si Boy adalah dambaan, ia hanya dipuji, dari mulut yang sudah biasa terkunci.

Tapi, nyatanya memang demikian. Boy digambarkan sebagai pemuda yang soleh. Sajadah selalu berada di jok belakang mobilnya, tidak lupa juga shalat lima waktu.

Doanya yang tulus ia tuangkan dalam buku hariannya. Bukan sebagai status di Whatsapp.

Boy digambarkan sebagai lelaki yang atletis. Suka berolahraga pagi, tanpa henti karena tidak ada tenggat waktu untuk upload status.

Ia juga senang mendengarkan radio prambors, sumber berita pilihan anak muda. Ringan dan mendidik. Jauh dari jangkauan podcast yang isinya mungkin hoax.

Boy digambarkan sebagai mahasiswa cerdas. Ia berhasil meraih prestasi tinggi. Nilai akademiknya bagus, tanpa bantuan google. Atau mungkin juga karena ia tidak pernah ambil pusing dengan demo mahasiswa, yang mungkin tidak keren pada masanya.

Boy baik hati dan tidak sombong. Suka membantu kaum dhuafa dan sopan kepada setiap orang. Jelas, itu tidak dibuat-buat, karena Boy sudah kaya dan tidak lagi mengejar rating dari konten sedekah. Atau memang di masanya, Youtube belumlah menjadi majikan.

Boy jagoan, tapi tidak brutal. Dia hanya berkelahi jika terpaksa. Tidak lupa juga jargon terkenalnya, "Gue yakin Allah bersama gue" sebelum tendangannya bersarang ke perut musuh.

Itu berkat Latihan yang sungguh-sungguh. Menjadi jago karate tidak terlalu sulit baginya, karena Boy tidak ada terganggu dengan tugas tik-tokan.

Boy playboy. Semua wanita menginginkannya. Karena memang ia tampan asli tanpa sentuhan eyedrop. Yang jelas, ia hanya akan menyentuh wanita yang dicintainya. Tidak menjadi penjahat kelamin yang banyak beredar di Facebook.

Meskipun Boy juga tidak bisa menahan syahwatnya. Ada adegannya berciuman dengan wanita yang "bukan muhrim", padahal ia rajin shalat.

Maklumlah, di zaman Soeharto pendidikan agama tidak sekencang zaman sekarang. Dimana sesajen pun ditendang karena takut Tuhan murka. 

Dikisahkan jika Boy punya pacar. Namanya Nuke (Ayu Azhari). Tapi, kisah cintanya harus kandas, karena ayah Nuke membenci keluarga Boy.

Dikisahkan jika ayah Nuke adalah seorang pejabat tinggi pemerintahan. Ia tersinggung setelah utusan ayah Boy mencoba menyuapnya agar izin perusahaan keluar melalui jalur ekspress. Sungguh mulia, dan tergolong langka di zaman orde baru.

Untungnya, tidak menjadi viral. Karena kalau tidak maka ayah si Boy akan berakhir di gedung KPK. Sementara ayah Nuke juga tidak akan terkenal. Dia tidak akan jadi viral, karena konten pejabat bersih itu kurang menjual.

Akhirnya Boy pun benar-benar putus hubungan dengan Nuke yang dikirim ayahnya bersekolah di luar negeri. Belum ada medsos, dan tarif interlokal masih mahal.

Yang pasti film Catatan si Boy dengan sekuel-kuelnya berhasil menggaet ratusan ribu penonton. Jumlah yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan video konvoi mobil mewah di Tol Andara. Dalam sekejap sudah bisa meraih ratusan ribu viewers.

Film Catatan si Boy viral, padahal kontennya dangkal. Menjual impian dalam dunia khayalan. Dialognya ringan, tidak juga mencerdaskan. Sepenuhnya lari dari kenyataan sosial. Hanya mewakili segelintir anak pejabat dan pengusaha di masa itu.

Tidak mewakili suara rakyat yang mulai gerah dengan perlakuan pemerintah yang otoriter. BMW dan rumah mewah bukan sepenuhnya Indonesia. Masih banyak orang di luar sana yang hidup pas-pasan, bahkan melarat.

Kendati demikian, di masa itu tidak terlalu masalah menjual mimpi. Setiap orang berhak untuk jadi sukses dan menjadi Boy-Boy selanjutnya.

Sebabnya, manusia di zaman bapakmu tidak segarang netizen zaman sekarang. Tidak mau protes karena ingin terkenal. Tidak memperbesar masalah agar kontennya viral.

Saya membayangkan, andaikan si Boy dan teman-temannya yang membuat kegaduhan di jalan Tol Andara, apakah yang terjadi?

Bisa saja si Boy tidak akan melakukannya, karena ia adalah anak yang soleh. Lagipula, ia tidak pernah berpikir untuk merekam aksinya di Youtube.

Tapi, bisa juga iya karena Boy tetaplah manusia biasa yang suka main coba-coba.

Jika itu terjadi, maka dirinya juga akan sopan. Bukan karena takut ditilang, tapi karena memang manusia Indonesia ramah-ramah kok.

Mungkin saja tidak ada yang berani menegurnya, karena pada masa itu otoritas berkuasa dengan sangat jelas. Penting, karena manusia Indonesia memang suka memaafkan.

Tapi, lebih mungkin lagi jika tidak ada yang mengetahui, atau lebih tepatnya, tidak ada yang akan peduli. Karena itu sudah terjadi 30 tahun yang lalu, dan manusia Indonesia memang suka melupakan.

Oleh sebab itu, dengarlah nasehat berikut ini;

"Kalau kamu ingin menjadi pribadi yang maju, kamu harus pandai mengenal apa yang terjadi, pandai melihat, pandai mendengar, dan pandai menganalisis." ~ Soeharto.

pikiran-rakyat.com
pikiran-rakyat.com

**

Acek Rudy for Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun