Maklumlah, di zaman Soeharto pendidikan agama tidak sekencang zaman sekarang. Dimana sesajen pun ditendang karena takut Tuhan murka.Â
Dikisahkan jika Boy punya pacar. Namanya Nuke (Ayu Azhari). Tapi, kisah cintanya harus kandas, karena ayah Nuke membenci keluarga Boy.
Dikisahkan jika ayah Nuke adalah seorang pejabat tinggi pemerintahan. Ia tersinggung setelah utusan ayah Boy mencoba menyuapnya agar izin perusahaan keluar melalui jalur ekspress. Sungguh mulia, dan tergolong langka di zaman orde baru.
Untungnya, tidak menjadi viral. Karena kalau tidak maka ayah si Boy akan berakhir di gedung KPK. Sementara ayah Nuke juga tidak akan terkenal. Dia tidak akan jadi viral, karena konten pejabat bersih itu kurang menjual.
Akhirnya Boy pun benar-benar putus hubungan dengan Nuke yang dikirim ayahnya bersekolah di luar negeri. Belum ada medsos, dan tarif interlokal masih mahal.
Yang pasti film Catatan si Boy dengan sekuel-kuelnya berhasil menggaet ratusan ribu penonton. Jumlah yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan video konvoi mobil mewah di Tol Andara. Dalam sekejap sudah bisa meraih ratusan ribu viewers.
Film Catatan si Boy viral, padahal kontennya dangkal. Menjual impian dalam dunia khayalan. Dialognya ringan, tidak juga mencerdaskan. Sepenuhnya lari dari kenyataan sosial. Hanya mewakili segelintir anak pejabat dan pengusaha di masa itu.
Tidak mewakili suara rakyat yang mulai gerah dengan perlakuan pemerintah yang otoriter. BMW dan rumah mewah bukan sepenuhnya Indonesia. Masih banyak orang di luar sana yang hidup pas-pasan, bahkan melarat.
Kendati demikian, di masa itu tidak terlalu masalah menjual mimpi. Setiap orang berhak untuk jadi sukses dan menjadi Boy-Boy selanjutnya.
Sebabnya, manusia di zaman bapakmu tidak segarang netizen zaman sekarang. Tidak mau protes karena ingin terkenal. Tidak memperbesar masalah agar kontennya viral.
Saya membayangkan, andaikan si Boy dan teman-temannya yang membuat kegaduhan di jalan Tol Andara, apakah yang terjadi?