Keringat itu alamiah, tapi juga bisa menjadi sumber malapetaka. Badan bau, terutama di daerah yang ada lipatannya. Ketiak atau selangkangan.
Bakteri yang terkandung dalam keringat berguna bagi tubuh. Tapi, dalam jumlah yang wajar. Karena yang terlalu banyak akan beresiko meimbulkan infeksi pada kulit.
Dengan demikian, maka seharusnya perdebatan sering mandi vs jarang mandi tidaklah perlu. Mandi sewajarnya tergantung kondisi perorangan.
Tapi, omelan istriku gamang terdengar. Setiap kali diri mengambil handuk, pertanyaan "mandi lagi?" serasa geledek di tengah kuburan.
"Emangnya kenape?" Diriku bergumam dalam hati.
Tidak mungkinlah dibantah. Â Bisa-bisa jatah sekampung sisa telur ayam kampung. Jangan sampai episode Layangan Putus terjadi di dalam rumah. Panjang berseri.
Lalu, setiap kali sembahyangan leluhur di rumah, diri selalu bertanya dalam hati. Seberapa seringkah engkong pe engkong pe engkong mandi?
Jika mereka bisa menjawab, mungkin ini yang disampaikan; "Buyut dulu jarang mandi, juga tidak apa-apa." Bayangan wajah istri pun muncul terlintas. Tersenyum sinis dengan wajah bengis.
Penulis pun terbangun dengan napas tersengal-sengal.
Tentu, perbedaan zaman tidak bisa dijadikan patokan. Leluhur zaman dulu juga tidak mengenal televisi, internet, ataupun obat diet.
Alias, fasilitas yang tersedia tidaklah seindah masanya. Mandi dari sumur, sabun pun bisa terukur. Air tidak bersih, kata sampo pun belum bisa diucapkan fasih.