Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keseringan Mandi adalah Efek dari Nonton Sinetron Berseri

9 Januari 2022   08:30 Diperbarui: 9 Januari 2022   08:35 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keseringan mandi efek sinetron berseri (dailymail.co.uk)

Mandi pagi sudah biasa, tidak mandi luar bi(n)asa

Perbedaan kecil terjadi antara huruf (n) pada kalimat di atas. Bisa digunakan atau tidak digunakan.

Menandakan perdebatan antara penulis dan istri tentang kebiasaan mandi. Bagi penulis mandi pagi itu adalah keharusan. Tidak segar rasanya. Badan dan jiwa rasanya belum siap untuk memulai aktivitas.

Sore hari setelah pulang kerja, mandi lebih wajib lagi. Apalagi di zaman corona, virus sedang berleha-leha. Bahkan di hari libur, terkadang bisa mandi sehari tiga kali.

Tapi, istri punya alasan sendiri. Ia lebih sering di rumah dan jarang berkeringat. Lagipula, kulitnya kering. Terlalu sering mandi bisa menimbulkan iritasi.

Kebiasaan ini lantas menjadi idealisme. Dari persoalan kesehatan, budaya, hingga lingkungan.

Terlalu Sering Mandi vs Terlalu Jarang Mandi

Keseringan mandi membuat kulit menjadi kering. Penyakit kulit pun sering datang. Kulit memerah, terasa gatal, dan pecah-pecah.

Sebabnya air dan sabun dapat menghancurkan lapisan kulit yang disebut mantel asam. Hilangnya lapisan tersebut membuat kulit rentan infeksi. Frekuensi mandi yang terbaik memang berhubungan dengan kesehatan.

Tapi, mungkin penyakit lebih baik daripada bau. Jarang mandi bau badan akibatnya. Asalnya dari keringat yang dipicu oleh hormon aktif karena gerakan tubuh.

Keringat itu alamiah, tapi juga bisa menjadi sumber malapetaka. Badan bau, terutama di daerah yang ada lipatannya. Ketiak atau selangkangan.

Bakteri yang terkandung dalam keringat berguna bagi tubuh. Tapi, dalam jumlah yang wajar. Karena yang terlalu banyak akan beresiko meimbulkan infeksi pada kulit.

Dengan demikian, maka seharusnya perdebatan sering mandi vs jarang mandi tidaklah perlu. Mandi sewajarnya tergantung kondisi perorangan.

Tapi, omelan istriku gamang terdengar. Setiap kali diri mengambil handuk, pertanyaan "mandi lagi?" serasa geledek di tengah kuburan.

"Emangnya kenape?" Diriku bergumam dalam hati.

Tidak mungkinlah dibantah.  Bisa-bisa jatah sekampung sisa telur ayam kampung. Jangan sampai episode Layangan Putus terjadi di dalam rumah. Panjang berseri.

Lalu, setiap kali sembahyangan leluhur di rumah, diri selalu bertanya dalam hati. Seberapa seringkah engkong pe engkong pe engkong mandi?

Jika mereka bisa menjawab, mungkin ini yang disampaikan; "Buyut dulu jarang mandi, juga tidak apa-apa." Bayangan wajah istri pun muncul terlintas. Tersenyum sinis dengan wajah bengis.

Penulis pun terbangun dengan napas tersengal-sengal.

Tentu, perbedaan zaman tidak bisa dijadikan patokan. Leluhur zaman dulu juga tidak mengenal televisi, internet, ataupun obat diet.

Alias, fasilitas yang tersedia tidaklah seindah masanya. Mandi dari sumur, sabun pun bisa terukur. Air tidak bersih, kata sampo pun belum bisa diucapkan fasih.

Yang pasti, kebiasaan mandi bukanlah budaya. Eits, tunggu dulu...

Budaya itu bisa berubah sobat. Terpengaruh oleh perkembangan zaman dan juga iklan. Konon orang-orang dulu di Inggris dan Amerika hanya mandi sehari sekali.

Iya, sebabnya cuaca dingin, air selalu terasa tajam menusuk kulit. Cebok saja ogah, bagaimana dengan mandi?

Baca juga: Idealisme Cebok: Mengapa Bule Pakai Tisu Toilet?

Dan memang tidak apa-apa. Tidak ada bau badan yang terlalu menganggu, dan bau wangi sabun tidaklah terlalu perlu.

Hingga datanglah produsen sabun mandi. Mandi harus setiap hari dan merefleksikan bagaimana orang lain memandang kebersihan dirimu. Gagasan kapitalis yang bercampur katalis.

Sabun dikampayekan sebagai satu-satunya alat pembersih tubuh sekaligus rutinitas yang harus dilakukan pada pagi, siang, dan sore hari.

Di awal abad ke-20, iklan sabun bertebaran di mana-mana. Pada lembaran brosur, radio, hingga televisi.

Pada tahun 1930an, perusahaan sabun mandi memiliki cara yang unik untuk memasarkan produk. Mereka membuat iklan bersambung berbentuk poster. Temanya menarik, tentang cinta dan keluarga. Pembaca pun tertarik mengikutinya setiap minggu.

Tren ini pun meluas, sehingga koran, majalah, higga perusahaan film pun melahirkan ragam ide cerita berseri. Sesuatu yang kita kenal dengan cerita bersambung, telenovela, drakor, sinetron.

Namun, apa pun bentuknya, julukannya hanyalah satu: Opera Sabun.

Tersebab kesuksesan katalis pemasaran tidak berhenti sampai di situ. Pada Oktober tahun 1930, serial televisi petama berjudul "Painted Dreams" tayang di televisi.

Sebagai yang pertama, tentu harus termahsyur. Episodenya dibuat panjang. Konon hingga seribu seri. Nah, tentunya ada iklan bukan?

Sponsor utama pada acara layar kaca tersebut "kebetulan" perusahaan sabun dan deterjen. Jadilah istilah opera sabun menjadi yang petama hingga (mungkin) selama-lamanya.

Bahkan ketika krisis air terjadi di bumi ini, mandi tidak pernah terlewati. Di negara yang akses airnya sudah menjadi isu dalam beberapa dekade terakhir, masih bisa mandi dua hingga tiga kali sehari. Air sudah bermasalah, tapi tidak ada masalah dengan mandi.

Namun, bukan berarti air yang melimpah tidak bermasalah untuk dipakai mandi. Ada yang namanya limbah sabun. Berbahaya bagi lingkungan, mencemarkan sumber air, bahkan hingga ke lautan.

Persediaan air ada batasnya. Jika terus menerus dihamburkan, maka bisa saja suatu waktu ia akan jadi petaka. Lantas, jika hal ini sudah terjadi, perlakuan apakah yang harus diberikan kepada bumi?

Mengurangi jatah mandi? Entahlah...

Bukanlah kapasitas penulis yang doyan mandi ini untuk membahasnya. Namun, tidak ada yang namanya kebiasaan permanen dalam sebuah budaya. Semuanya bisa berubah dengan perkembangan teknologi dan kondisi.

Mungkin juga, istri penulis benar adanya. Tidak perlu terlalu risih jarang mandi. Sehari sekali saja mungkin sudah tepat. Atau cukup dengan lap basah saja. Demi masa depan. Siapa tahu anak-anak kita akan kembali ke zaman moyang, mandi seminggu sekali saja.

**

Acek Rudy for Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun