Mereka sadar jika sejarah dunia akan terubah, dan bisa saja mereka tidak akan terlahir sebagai manusia.
Syahdan, mereka pun meloncat ke dalam mesin dan berkejar-kejaran waktu dengan para pembunuh. Juga untuk kembali ke beberapa saat yang lalu, pada saat kedua orangtua Ram dibunuh oleh Ahmed.
Seharusnya pada poin ini, penulis mengharapkan serunya konflik. Pertemuan antara pembunuh, pahlawan, dan Yesus bukan sebuah ide yang biasa-biasa saja.
Sayangnya, penulis tidak membawa kertas dan pulpen. Posisi lagi tidur-tiduran dengan mode mager lagi on, membuat kening berkerut.
Konsep perjalanan waktu memang kompleks, karena dimensi waktu yang tidak berurut membuatnya rawan pencernaan otak.
Dan memang demikian yang terjadi. Adegan dibuat loncat sana, loncat sini. Bak melihat kelinci yang sama muncul dari lubang-lubang yang berbeda. Bikin pusing.
Tapi, untungnya film ini memang dibuat bergenre komedi. Sehingga daripada pusing, mending ketawa-ketawa saja melihat adegan-adegan konyol.
Nyatanya memang ada beberapa yang bisa bikin perut mules. Seperti ketika Yesus bisa berbahasa Inggris, yang membuat tokoh utama sadar jika memang ia bukanlah sosok abal-abal.
Juga ada adegan Yesus yang membahas plot cerita tentang film The Passion of Christ-nya Mel Gibson. Yesus di zaman dulu tentunya bisa melihat masa depan.
Sejak awal menonton film ini, telah terjadi pergolakan dalam batin penulis. Apakah film ini dimaksudkan bagi mereka yang "frustasi" terhadap keimanan, atau justru propaganda terselubung tentang kekuatan Ilahi.
Jim Carrol, sang sutradara menjelaskan (dikutip dari sumber),
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!