"Jika kamu benar-benar adalah anak Tuhan, maka kamu akan bisa menahan peluruku."
Kira-kira seperti itulah adegan pembuka dalam film The Black Easter. Kejadiannya pada tahun 33M. Tepatnya, beberapa saat sebelum Yesus akan disalibkan.
Yang mengucapkan kalimat tersebut adalah Brandt (Donny Boaz), seorang mantan militer AS dari masa depan.
Ya, Brandt berhasil membunuh Yesus dengan pistolnya. Sambil berkata, "Ini untuk keluargaku yang engkau ambil"
Konyol. Memang konyol.
Bagi umat Kristen, film ini mungkin bisa dianggap penghinaan. Konsepnya adalah perjalanan waktu (time travel). Suatu impian yang oleh sebagian orang dianggap sebagai tindakan murtad.
Kendati demikian, bagi pencinta scifi fantasy, film ini lumayan menggoda.
Sudah banyak kisah tentang perjalanan waktu, namun penulis belum melihat tentang agama. Sudah banyak misi yang diemban dalam misi perjalanan waktu, tetapi rasanya belum ada yang berani membunuh Yesus.
Ceritanya cukup sederhana. Alkisah seorang saintis muda, ganteng, dan berambisi bernama Ram Goldstein (Morgan Roberts). Bersama tiga kawan saintis muda lainnya, mereka disewa untuk menciptakan mesin transporter ala Star Trek.
Tanpa mereka ketahui, tuan tajir yang menyewa mereka adalah pemimpin grup ekstrimis muslim, bernama Ahmed Amir (Geraldo Davila). Tujuannya adalah menyelundupkan senjata dari mana ke mana tanpa lewat cukai.
Dengan demikian, maka mereka bisa menguasai dunia. Menimbulkan teror di seluruh penjuru. Tapi, tunggu dulu. Keempat jenius ini malah melangkah jauh ke depan. Alih-alih membuat mesin transporter, mereka malah menciptakan mesin waktu.
Ah, membosankan. Tapi, tunggu sampai konflik terjadi.
Dalam sebuah situasi, Ram secara tidak sengaja mendengarkan percakapan Ahmed dengan boss-nya. Ia pun tahu maksud dan tujuan para teroris ini: Membunuh Yesus sebelum ia disalibkan, agar kekristenan lenyap dari dunia ini.
Konyol. Asli konyol.
Untungnya ada jeda yang sedikit melegakan. Bak suara pengumuman di bandara, isinya adalah: "Don't be judgmental or hating on Muslims. Ahmed is an extremist. There's a big difference"
Artinya: "Janganlah membenci Muslim. Ahmed adalah ekstrimis. Perbedaan yang besar."
Sebagai eksekutor, grup teroris ini mengirim Brandt, mantan pasukan khusus AS beserta beberapa pasukannya. Kebetulan (dibuat-buat), Brandt sakit hati dengan Tuhan.
Ia mengalami kecelakaan yang merengut nyawa istri dan anak-anaknya. Tontonan pun dibuat dramatis. Bagaimana Brandt yang awalnya sangat religius kemudian memaki-maki Tuhan di hadapan jasad istrinya.
Jelas, adegan tersebut untuk memperjelas alasan Brandt ingin membunuh Yesus. Mengulik keimanan.
**
Ram beserta kawan-kawannya pun sadar jika mereka telah menemukan mesin yang mungkin bisa mengubah dunia. Mereka tidak digambarkan sebagai umat Kristen yang taat, namun sebagai saintis yang berlogika.
Mereka sadar jika sejarah dunia akan terubah, dan bisa saja mereka tidak akan terlahir sebagai manusia.
Syahdan, mereka pun meloncat ke dalam mesin dan berkejar-kejaran waktu dengan para pembunuh. Juga untuk kembali ke beberapa saat yang lalu, pada saat kedua orangtua Ram dibunuh oleh Ahmed.
Seharusnya pada poin ini, penulis mengharapkan serunya konflik. Pertemuan antara pembunuh, pahlawan, dan Yesus bukan sebuah ide yang biasa-biasa saja.
Sayangnya, penulis tidak membawa kertas dan pulpen. Posisi lagi tidur-tiduran dengan mode mager lagi on, membuat kening berkerut.
Konsep perjalanan waktu memang kompleks, karena dimensi waktu yang tidak berurut membuatnya rawan pencernaan otak.
Dan memang demikian yang terjadi. Adegan dibuat loncat sana, loncat sini. Bak melihat kelinci yang sama muncul dari lubang-lubang yang berbeda. Bikin pusing.
Tapi, untungnya film ini memang dibuat bergenre komedi. Sehingga daripada pusing, mending ketawa-ketawa saja melihat adegan-adegan konyol.
Nyatanya memang ada beberapa yang bisa bikin perut mules. Seperti ketika Yesus bisa berbahasa Inggris, yang membuat tokoh utama sadar jika memang ia bukanlah sosok abal-abal.
Juga ada adegan Yesus yang membahas plot cerita tentang film The Passion of Christ-nya Mel Gibson. Yesus di zaman dulu tentunya bisa melihat masa depan.
Sejak awal menonton film ini, telah terjadi pergolakan dalam batin penulis. Apakah film ini dimaksudkan bagi mereka yang "frustasi" terhadap keimanan, atau justru propaganda terselubung tentang kekuatan Ilahi.
Jim Carrol, sang sutradara menjelaskan (dikutip dari sumber),
"Black Easter adalah sebuah film bertema Kristen yang menghibur, tanpa mengandung unsur pengajaran (preaching)."
Jadilah Black Easter yang bertemakan agama (Kristen), bercampur dengan time travel (Sci-fi), dan action teroris.
Harus diakui, Jika ide Carrol ini memang sangat extraordinary. Saking luar biasanya, sehingga ia mampu menerjemahkan plotnya dengan gaya berpikirnya sendiri.
Sepertinya Caroll tidak terlalu peduli dengan kebingungan penonton. Seperti, karakter yang terlalu banyak dan mubasir. Akting yang pas-pasan dari pemeran utama, serta beberapa adegan yang penulis anggap tidak perlu. Belum lagi kualitas film yang memang kelihatan murahan.
Sepertinya Caroll juga tidak peduli dengan penilaian penonton. Caroll sangat idealis, ia hanya ingin film tersebut dibuat sesuai dengan keinginannya sendiri. Â
Pokoknya terserah penontonlah, suka atau tidak suka Black Easter sudah selesai dibuat. Mungkin kamu, kamu, dan kamu akan memprediksi kegagalan yang akan terjadi dari "kebengalan" Jim Caroll. Nyatanya tidak.
Mau tahu kenapa penulis tertarik menonton film ini? Karena sejak awal, penonton telah disuguhkan dengan segala awards (penghargaan) yang didapatkannya.
Antara lain; 'Best Action Screenplay' di Los Angeles Film Awards, 'Best Featured Script' di Calcutta International Cult Film Festival, 'Best Original Screenplay Winner' pada London Independent Film Awards, Bercelona Film Awards, dan masih banyak lagi, masih banyak lagi.
Hebatnya, Rotten Tomatoes memberikan Skor 62%. Angka yang tidak terlalu buruk dari ajang kritikus film yang paling kejam. Plus, beberapa review positif pun berseliweran di sana. Luar Biasa!
Tidak dapat disangkal, Black Easter telah menemukan fansnya tersendiri. Ibarat sebuah kelompok kepercayaan kecil yang telah menemukan "Tuhannya" sendiri.
Ada hal menarik yang penulis rasakan. Carrol telah mampu "menggoyah iman." Bukan dari sisi kekristenan, tapi dari sisi perjalanan waktu.
Dalam Alkitab dijelaskan bahwa Yesus disalib bersama dua pejahat (di sebelah kiri dan kanannya). Namun, keberadaan kedua orang tersebut masih menjadi misteri. Tersebab, baik Alkitab maupun ahli sejarah tidak pernah membahas identitas mereka.
Dalam Alkitab, hanya dijelaskan mengenai perbincangan Yesus yang terakhir dengan mereka sebelum meninggal.
Salah satu penjahat berani menantang Yesus, "jika kamu benar-benar Kristus, bebaskan diri dan juga kami."
Sementara penjahat lainnya lagi hanya meminta Yesus untuk mengingat-ingat dia di surga.
Nah, Carrol dengan cerdas mengisi "kekosongan" ini. Penjahat yang menantang Yesus disebutkan sebagai tangan kanan Ahmed yang teroris. Sementara penjahat yang satunya lagi tiada lain adalah Brandt yang insaf.
Aneh, apakah memang benar begitu? Entahlah.
Kendati demikian, menurut penulis, idealisme Caroll tidak sepenuhnya idealis.
Mengapa harus mengulik Ahmed yang ekstrimis muslim, lantas buru-buru menjelaskan bahwa Ahmed bukanlah Muslim sesungguhnya. Seolah-olah khwatir dengan fenomena Islamphobia yang sensitif, namun tetap mengangkat isunya.
Jika mau berfokus kepada kebencian terhadap Kristen, teroris Islam tidak perlu ditonjolkan. Masih banyak orang gila di luar sana, tanpa agama, dengan kebencian yang mungkin lebih parah.
Menurut penulis, apalagi jika bukan ingin viral. Tanggung terasa!
Akhir kata, ide film ini memang menarik. Tapi, apakah menarik untuk ditonton? Entahlah, penulis tidak menontonnya hingga habis. Sudah keburu tidur....
**
Acek Rudy for Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H