Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lupakan Shin Tae Yong, tapi Jangan Endang Witarsa

3 Januari 2022   06:04 Diperbarui: 3 Januari 2022   06:11 1496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Endang Witarsa, Pelatih Tersukses Timnas Indonesia (kompas.com)

Menolak kaya gegara gila bola. Kedengarannya konyol, tapi itulah fakta yang pernah terjadi di dunia sepak bola kita.

Namanya Endang Witarsa, terlahir dengan nama asli Liem Soen Joe. Dalam buku Dokter Bola Indonesia (2010), H. Isyanto menuliskan tentang diri Endang.

"Di usianya yang sudah uzur dan sakit-sakitan, Endang masih menjadi pelatih kepala klub Union Makes Strength (UMS)"

UMS sendiri adalah sebuah klub bentukan etnis Tionghoa yang telah berusia 117 tahun pada 2020 ini. Sumber; encyclopedia.jakarta-tourism.go.id. Dan Endang telah menukangi klub sepak bola tersebut sejak 1936. Sebelum Indonesia merdeka.

Lapangan Petak Sinkian Mangga Besar, Jakarta Barat menjadi markas klub tua tersebut. Penduduk dan pegawai kantoran sekitar seringkali datang ke sana untuk menonton latihan sepak bola.

Melihat para pemain berlatih adalah satu hal, melihat kakek tua marah-marah adalah hiburan. Sesekali, terdengar suara dari atas bangku penonton. Meneriaki pemain yang salah posisi.

Kakek tua tersebut lantas menoleh ke arah pemain. Meniup peluit agar sang pemain datang padanya.

Makian pun terdengar lantang. "Ngapain kamu jaga disana? Disitu, goblok". Penonton pun tertawa terbahak-bahak, sambil berkata, "mampus lu."

**

Menolak kaya gegara gila bola. Itulah yang dilakukan oleh sosok tua ini. Ia lulusan Fakultas Kedokteran Gigi Stovit Surabaya (sekarang Universitas Airlangga). Ia juga pernah memperdalam ilmu kedokteran giginya pada tahun 1958 di Seattle, Amerika Serikat.

Namun, Endang tidak pernah praktek gigi. Menyia-nyiakan kesempatan menjadi orang kaya, tersebab profesi dokter gigi di tahun 60-an masih tergolong langka.

Akibat "Salah Didik"

Mungkin karena salah didik. Orangtua Endang adalah pengusaha toko kelontong di Kebumen. Bisnisnya bagus, cuannya gede.

Karena tidak mau ambil pusing, mereka pun membelikan Endang kecil bola karet. Biar tidak repot mengurusnya.

Pria kelahiran tahun 1916 ini adalah bungsu dari 9 saudara. Sejak kecil ia memang sudah suka bola. Kakak laki-lakinya sering mengajak Endang ke alun-alun. Sekadar untuk menendang bola, atau untuk menonton latihan.

Syahdan, di usia enam tahun Endang sudah piawai bermain bola. Lawannya kebanyakan adalah anak-anak yang berusia lebih tua.

Seiring waktu, kecintaan Endang kepada sepak bola semakin kelihatan. Sewaktu remaja, ia tak segan-segan menempuh perjalanan bersepeda beratus-ratus kilometer jauhnya.

Dari Kebumen menuju Puwokerto, Purwerejo, hingga Yogyakarta. Semuanya demi menonton pertandingan sepak bola. Rekor yang terjauh adalah Semarang. Dua ratus kilometer ia tempuh bersama kawan-kawannya.

Dicap Pengkhianat

Setelah tamat dari sekolah menengah (MULO dan AMS B), Endang pindah ke Surabaya dan berkuliah di Stovit Surabaya. Di sana ia tinggal di rumah seorang Belanda.

Entah kebetulan, orang Belanda tersebut ternyata adalah ketua perkumpulan sepak bola HBS. Sang tuan rumah terkesan dengan bakat bermain bola Endang, ia pun menawarkannya untuk memperkuat tim HBS.

Tidak kuasa menolak, aksinya itu lantas membuat marah orang-orang Tionghoa yang tergabung dalam Tionghoa FC. Akibatnya, Endang dicap pengkhianat dan sering menjadi sasaran perundungan.

Kendati demikian, Endang juga punya prinsip. Saat Piala Dunia 1938 yang dihelat di Prancis, Endang juga diajak untuk memperkuat tim. Tapi, ia menolak dengan alasan ingin menyelesaikan kuliahnya tepat waktu. Demi untuk membahagiakan kedua orangtuanya.

Sontak, sikap orang Tionghoa pun berubah. Endang dinilai berbudi luhur. Cap pengkhianat pun tidak lagi melekat padanya.

Pindah ke Jakarta

Pada 1948 Endang pindah ke Jakarta. Di sana ia bergabung dengan VBO Batavia dan melakoni sejumlah tur internasional ke Bangkok, Singapura, dan Hong Kong.

Rangkaian turnya membuat Endang dan beberapa kawannya menjadi pesohor. Adalah Tjoa Tjoen Bie, Ketua Perkumpulan Olahraga UMS yang kemudian menawarkan Endang bergabung dengan klub.

Sejak saat itu, nama Endang tercatat sebagai pemain. Hingga tahun 1956, ia menjadi pelatih menggantikan Karel Fatter yang kembali ke Hungaria.

Endang berhasil membawa UMS menjuarai kompetisi Persija 1955/1956 pada tahun pertamanya di UMS sebagai pelatih. Rekornya tanpa kalah.

Pelatih Indonesia Pertama yang Menerapkan 4-2-4

Pada tahun 1958, Endang berangkat ke Seattle, AS untuk melanjutkan kuliah dokter giginya. Ia dibiayai oleh seorang pengusaha asal Medan, TD Pardede.

Di Amerika ini, Endang tidak hanya memperdalam ilmu kedokteran giginya. Di sana ia juga menambah ilmu sepak bolanya dengan cara otodidak.

Endang tak henti-hentinya berburu buku dan majalah sepak bola. Hingga ia menemukan rahasia sukses sepak bola Brazil. Pola permainan 4-2-4 yang menjadi kunci kemenangan Brazil pada Piala Dunia 1958.

Endang pulang ke Indonesia pada tahun 1959. Kembali melanjutkan karirnya sebagai pelatih. Sukses dengan UMS, pada musim 1963/1964, Endang berhasil membawa Persija menjuarai Piala Perserikatan.

Yang lebih fenomenal lagi, Endang adalah orang Indonesia pertama yang menerapkan sistim format play 4-2-4 yang masih dianggap aneh pada zamannya.

Menjadi Pelatih Timnas Indonesia

Endang kemudian terpilih menjadi pelatih Timnas Indonesia pada 1966. Di tahun yang sama ia menggondol Piala Aga Khan di Pakistan, yang merupakan cikal bakal AFF Cup.

Selama karir pelatihnya, Endang juga mempersembahkan empat piala lainnya, yakni; Piala Raja Thailand (1968), Merdeka Games Malaysia (1969), Piala Anniversary Jakarta (1972), dan Pesta Sukan Singapura (1972).

Bisa dikatakan belum ada pelatih Timnas Garuda lainnya yang menyamai prestasi Endang hingga kini. Lima gelar dalam lima tahun (1966-1970).

Baca juga: Shin Tae Yong Belum Apa-apa, Ini 4 Pelatih Timnas Indonesia yang Berprestasi

Mulut Bak Sampah, Hati Remah-remah    

Satu hal yang tak bisa tertahankan dari mulut Endang Witarsa adalah makiannya yang mengalir alamiah. Namun, di balik sumpah serapahnya, Endang sebenarnya adalah pribadi yang pantas dicintai.

Benny Dolo mengisahkan saat ia dilatih Endang memperkuat klub UMS. Saat kalah telah oleh Niac Mitra, Benny menumpahkan kekesalannya dengan menyetel radionya keras-keras di mes.

Endang pun marah dan membanting radionya, lalu melemparnya ke dalam sumur. Beberapa saat kemudian, Endang memanggil Benny dan menanyakan harga radio yang ia hancurkan.

Benny juga bercerita jika dirinya dan beberapa pemain sering meminjam uang kepada Endang. Ketika ia ingin mengembalikan utangnya, Endang justru memakinya. "Emangnya kamu sudah kaya ya?"

Namun, bukan berarti Endang juga kaya. Suatu waktu ada salah satu anak asuhannya sakit saat selesai latihan. Ia sampai harus dipapah oleh rekan-rekannya.

Dengan panik, Endang pun menyelutuk. "Aduh gimana ya, saya tidak punya uang. Begini saja, ambil aki mobil saya dan jual untuk biaya pengobatan." Pungkasnya kepada Maman, pelatih anak gawang UMS.

Benci Rasialisme

Kendati terlahir sebagai seorang Tionghoa, Endang dikenal sebagai sosok yang mencintai keberagaman. Baginya Indonesia adalah Indonesia, dan pembauran adalah segalanya.

Tessa Witarsa, cucu Endang mengisahkan bagaimana kakeknya sempat begitu emosi mendengar usulan gelaran turnamen sepak bola antar klub-klub Tionghoa di Indonesia.

Sumpah-serapah pun mengalir dengan deras dari mulutnya. Pencetus ide dimaki habis-habisan. Istilah-istilah "kebun binatang" pun berhamburan keluar.

Menurut Tessa, ayahnya bukan hanya piawai dalam taktik bola. Ia juga memiliki visi kebangsaan yang jauh ke depan. Baginya, sepak bola adalah ajang terbaik yang bisa mempersatukan bangsa ini.

Tessa adalah cucu kesayangan Endang. Ia juga adalah dokter gigi yang melanjutkan profesi kakeknya yang belum kesampaian.

Tessa juga-lah yang menemani sang legenda dalam kurun enam tahun terakhir sebelum tutup usia. Tessa merasa bersyukur bisa menemani sang kakek dan belajar banyak darinya.

Endang Witarsa wafat pada tanggal 2 April 2008 dalam usia 92 tahun. Ia meninggalkan 4 anak, 12 cucu, dan 9 cicit.

Namanya mungkin tidak banyak dikenal oleh pencinta sepak bola di Indonesia. Namun, torehan prestasinya selama menukangi Timnas masih belum tertandingi hingga kini.

Mungkin saja kamu, kamu, dan kamu belum pernah mendengarkan namanya. Namun, Endang telah memberikan dua pelajaran berharga bagi dunia sepak bola bangsa ini.

Bahwa Indonesia mampu berprestasi di dunia internasional, dan bahwa Indonesia adalah negara besar dengan segala keragaman yang ada.

Referensi: 1 2 3 

**

Acek Rudy for Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun