Ternyata, hal ini ada juga penelitian ilmiahnya. Sophie Scott mengungkapkan bahwa tertawa yang kurang tulus kerap keluar dari hidung. Sementara tetawa lepas aliran udaranya dari mulut.
Alat pemindai juga mampu membedakan cara kerja otak terhadap dua perbedaan ini. Tertawa tulus tampak merangsang bagian kecil dari otak yang juga berfungsi untuk refleks atau merespons tindakan.
Seperti pada permainan sepak bola ketika kita menerima operan bola dari teman dan menyepaknya. Penelitian ini juga membuktikan bahwa mengapa tertawa itu menular.
**
Tidak semua orang bisa tertawa lepas. Tidak sulit bagi kita untuk menerka bahwa pikiran mereka sedang terganggu. Lebih spesifik lagi disebutkan bahwa kemampuan tertawa berhubungan dengan kadar penerimaan seseorang terhadap dirinya.
Penelitian Robert Lynch, antropolog dari Rutgers University, AS membuktikannya. Dalam studi, Lynch menghubungkan self-deception (aksi membohongi diri sendiri) dengan kecenderungan tertawa lepas.
Menurutnya, semakin banyak seseorang membohongi dirinya sendiri, semakin sulit ia tertawa. Dengan kata lain, semakin seseorang tidak bisa menerima dirinya apa adanya, maka semakin sulit ia tertawa.
Sebaliknya, orang-orang seperti ini juga akan memberikan sinyal negatif dalam merespon tawa. Â
**
Janganlah menertawakan rakyat Korut yang sudah tidak bisa lagi tertawa. Menurut penelitian, orang dewasa tetawa rata-rata 15 kali dalam sehari. Cukup banyak, tapi pada kenyataannya telah menurun seiring usia.
Anak kecil yang polos menganggap semua lucu. Mereka bisa tertawa lebih dari 300 kali dalam sehari. Lantas, apakah semakin dewasa seseorang, semakin sedikit dirinya tertawa?