Sebagai tukang dagang yang harus menjual apa saja untuk hidup, berita terkini mereka dapatkan sekaligus sebarkan, sembari melayani pelanggan.
Banyak yang suka kongkow-kongkow dengan mereka, karena pengetahuannya banyak (meskipun setengah-setengah). Kadang pula mereka genit dan suka lihat cew cantik. Berita kriminal menjadi motivasi bagi mereka, agar tetap hidup dalam kedamaian.
Karena usia dan pengalaman yang sudah paruh waktu, mereka selalu membandingkan. "Eh, di zaman bapakmu dulu begini lho! Anak muda sekarang kagak tahu itu lho! Bla bla bla."
Palugada, istilah ini pertama kali diberikan oleh Engkong Felix. Cihuy, terasa pas.
Benar, semua yang saya tulis adalah yang menurutku enak dibaca. Skandal pembunuhan peragawati Desi, pemerkosaan sum kuning, tradisi unik orang Cina, hingga mengapa burung jadi "burung." Konyol!
Sejujurnya saya sempat gelagapan ketika Anime membahana. Sebagai pedagang, saya tidak menjual manga dan komik. Dibaca puluhan ribu orang dalam sekejap, ngiler rasanya.
Tapi, bukan berarti saya tidak ikut-ikutan nulis anime. Di luar sana, masih ada orang-orang seumurku yang hidup dari zaman Voltus. Kutuliskanlah itu. Banyak pula fenomena unik. Encek-encek dari Jepang yang suka ama boneka imut. Namanya Nijikon, kutuliskanlah itu.
Lantas, ketika Kompasiana mulai diterjang tsunami K-Rewards. Bot dan Ad dituduh mendongkrak viewers. Menurut saya, hal ini tidak masalah.
Sebagai pedagang, kreativitas itu penting. Bukankah kehadiran marketplace telah mengajarkan kita untuk melakukan inovasi?
Kompasiana tentu tidak diam. Diajarkanlah bagaimana membuat tulisan yang banyak pembaca. Semuanya saya ikuti, semisal judul dan lead yang baik. Semuanya, kecual SEO dan Medsos.
Alasannya? Acek tidak paham SEO. Medsos? Acek tidak main medsos. Topil, kadang dikadali, dibuat sesempat-sempatnya.