Pada titik inilah, idealisme mulai goyah, otak mulai mumet. Tulisan tentang angka dan filsafat minim pembaca. Tidak menarik lagi. Mungkin saja bisa diganjar AU, tapi itu bukanlah target utama.
Sorry to say, yang AU belum tentu banyak pembaca. Sebabnya selera Mimin belum tentu benar. Tidak mewakili suara hati pembaca.
Idealisme yang goyah plus pikiran yang korslet lantas membuatku berdelusi. Saya mulai jarang membaca tulisan Headline. Tren pekan ini dan tulisan yang bertenger di kolom populer jadi targetku.
Alasannya, karena saya adalah golongan pembaca. Mewakili golongan mayoritas.
Kesimpulannya, ada tiga kata kunci yang membuat artikel populer: viral, unik, dan tulisan yang ditujukan kepada Kompasiana atau Kompasianer.
Hasilnya? Per 17 Maret 2021 menandai artikel terakhirku yang diganjar AU. Hingga detik tulisan ini dibuat. No more Headlines, beib.
Lantas, apa yang kubuat? Yang viral belum tentu tren, yang unik itu dari zaman bapakmu, tentang Kompasiana atau Kompasianer? Jadilah diriku menjadi Acek. Tukang rusuh bersama Engkong Felix, Al Peb, dan para tante.
Oh ya, gelar Acek pertama kali diberikan oleh Kompasianer Yana Haudy pada grup perpesanan. Sejak saat itu, saya jatuh cinta kepadanya. (Nama Acek, bukan Mba Yana-nya).
Saya bukan milenial. Tidak banyak teori dan pengetahuan baru. Patut di-peti-eskan, karena minimnya pengetahuan tentang topil dan tren. Namun, gelar Acek ini punya makna tersendiri.
Saya analogikan dirinya bak pedagang di glodok. Saban hari kerjanya dagang doang. Haiyaaa...
Berita terkini yang ia dapatkan hanya setengah-setengah. Namun para Acek ini punya keuntungan. Langganannya banyak, sehingga bikini merah pun ia tahu tanpa harus membaca kompas.com.