Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika (Jika) Merah Putih Digantikan

28 Agustus 2021   15:01 Diperbarui: 28 Agustus 2021   15:14 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketika (Jika) Merah Putih Diturunkan (cnnindonesia.com)

Masih trauma dengan Merah Putih. Rasa sakit dari rotan Pak Frans, guru kelas 4 SDku, masih membekas dalam ingatan.

Dapat tugas piket usai jam sekolah. Alih-alih membersihkan ruangan kelas, bendera merah putih pun jadi taplak tangan.

Pulang rumah menangis tersedu-sedu. Ditanya mama, dapatnya justru omelan. 

**

Upacara bendera wajib setiap senin pagi, panas terik menyinari. Katanya anak Indonesia tidak boleh cengeng. Bukannya sadar diri, tatapan guru killer-lah yang membuat harus tetap berdiri menahan diri.

Setiap pagi, doa harus dimulai. Wajib agar proses belajar mengajar lancar. Tidak lupa menyapa guru. Tapi, sebelumnya penghormatan kepada Merah Putih wajib dilakukan.

Sebagai anak kecil yang tidak tahu apa-apa, rutinitas tetap saja dijalankan. Rasa takut menyelimuti, kesadaran pentingnya warna merah putih belum jadi inspirasi.

Hingga kini...

Setiap menyanyikan lagu Indonesia Raya, diri selalu menangis. Bukan karena rasa takut dicambuk. Tapi, mensyukuri nikmat hidup selama ini.

Menghargai darah para pejuang bukanlah pepesan kosong. Mengagumi pemikiran para pendiri bangsa yang bukan tong kosong.

Rasa takut datang tergantikan dengan rasa cinta yang tak bertepi.

Hingga suatu saat...

Sekelompok anak muda berdiri di atas jembatan penyeberangan. Mereka mengibarkan bendera dan dengan lantang menyerukan; "Ini adalah identitas kami."

Kelompok anak muda tersebut adalah para demonstran. Mereka melancarkan aksi penolakan penggantian bendera yang telah diputuskan oleh pemerintahan baru.

Tak berapa lama kemudian, bunyi rentetan senjata terdengar. Pihak militer menembakkan senjata ke arah demonstran. Tiga orang tewas di tembak. Puluhan lainnya terluka.

Melihat aksi militer, pengunjuk rasa pun memilih bubar. Tapi, mereka tetap membawa bendera negara ini di tangannya. Berjalan dengan tenang.

Para penduduk yang berada di pinggir jalan memberikan dukungan sambil bersiul dan bertepuk tangan. Mengelu-elukan para pejuang demokrasi yang berani mati.

Mereka punya alasan untuk menyambut gembira. Pada hari tersebut negara sedang merayakan hari kemerdekaannya.

**

Sehari kemudian, sekelompok wanita berhijab turun ke jalan. Mereka juga membawa bendera pusaka bangsa ini. Masih dalam rangka memperingati hari kemerdekaan, sembari memprotes aksi penembakan para demonstran sehari sebelumnya.

Unjuk rasa mereka disambut dengan tendangan dan pukulan yang membabi buta oleh militer penguasa. Sikap ini tidak selaras dengan kampanye pemimpin negara yang mengatakan akan menghormati hak kaum perempuan.

Aksi unjuk rasa ini tidak saja hanya terjadi di ibu kota negara, tapi di berbagai tempat di seluruh negeri. Intinya bangsa ini tidak ingin bendera pusaka digantikan dengan bendera pilihan pemerintah.

**

Para imam di masjid dianjurkan oleh pemerintah, agar rakyat tidak mencoba meninggalkan negara. Tersebab di bandara internasional, ribuan orang sudah mengantri.

Tidak banyak pesawat terbang yang mendarat. Hanya segelintir milik militer asing. Pemandangan menyedihkan terjadi di antara kerumunan. Para bayi dan anak kecil dioper-oper melewati massa. Hingga akhirnya dimuat ke dalam pesawat, tanpa orangtua mereka.

Para orangtua rela meninggalkan anak-anaknya, sambil menunggu pesawat yang datang entah kapan. Sang anak mungkin akan menjadi Yatim Piatu. Tapi itu lebih baik daripada menyaksikan bendera pusaka digantikan oleh bendera baru.

**

Rakyat sipil tak bersenjata, merobek bendera baru karena tidak pantas. Mereka kembali mengibarkan bendera pusaka, mengulang perjuangan yang sama dilakukan oleh para pejuang sebelumnya.

Tapi, kali ini bukanlah melawan kekuatan asing. Saudara sebangsalah yang saling membunuh.

Militer yang berkuasa bersumpah tidak akan menghabisi saudara sebangsa yang melawan mereka. Tapi pintu-pintu rumah diketuk, yang mencurigakan langsung diciduk.

**

Presiden sebelumnya telah melarikan diri. Wakil Presiden masih berada di dalam negeri. Ia mengumandangkan proklamasi untuk kedua kalinya.

Imperalisme sudah lama tidak ada. Kini telah tergantikan dengan idealisme baru yang tidak bisa lagi mempersatukan bangsa.

Bendera nasional ingin diganti, padahal ia adalah jejak asli negara ini.

Hingga nanti...

Kejadian tersebut bukanlah di negara Indonesia yang kita cintai. Ia berada jauh di Afhganistan.

Kisah ini bukanlah untuk saling membandingkan, tidak juga untuk memprotes urusan negeri orang lain.

Hingga selamanya...

Masih trauma dengan Merah Putih. Rasa sakit dari rotan Pak Frans, guru kelas 4 SDku, masih membekas dalam ingatan.

Tapi, kini, nanti, dan selamanya justru aku syukuri. Sakitnya cambuk tidak sebanding dengan perjuangan, darah, dan air mata bagi bangsa Indonesia yang kita cintai.

Referensi: 1 2 3 4

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun