Sejujurnya saya sering sebal mendengar pernyataan bahwa kualitas dokter Indonesia itu jelek. Kendati pernyataan ini tidak saja berasal dari masyarakat umum, tapi juga dari kaum akademisi hingga agen pemerintah.
Memang kedigdayaan medis di Indonesia juga tidak bisa dibilang sangat bagus. Beberapa orang berduit bahkan lebih memilih negara tetangga sebagai tempat merawat kesehatan.
Dari beberapa orang yang saya tanyakan, kebanyakan karena mereka ingin aman. Mulai dari kualitas, fasilitas, hingga profesionalitas, semuanya melebihi standar di Indonesia. Harga mahal pun tidak masalah, ini adalah soal nyawa.
Lucunya lagi, saya juga memiliki beberapa kawan dokter di Indonesia yang memiliki akses dengan rumah-rumah sakit di Singapura dan Malaysia. Mereka seolah-olah bertindak sebagai agen medis bagi negeri tetangga.
Namun, sebagai orang Indonesia, tentu saja kita tidak memiliki banyak pilihan. Tekhusus di masa pandemi, dimana perjalanan antar negara sudah sangat merepotkan.
Tentunya isu ini tidak merebak begitu saja. Dari sisi pasien, ditenggarai ada beberapa hal yang menjadi penyebab; pengalaman pribadi, promosi, dan saran dari orang yang terpercaya.
Sementara dari sisi akademis, saya mengutip pernyataan dari sebuah berita yang sudah beredar cukup lama.
Mantan Ketua Umum IDI, Dr. Zaenal Abinin menyampaikan masalah terbesar dalam dunia kedokteran Indonesia adalah kualitas pendidikan dokter di Indonesia. Penyebab utama datang dari kurangnya kontrol dari pemerintah dan masyarakat.
Ada beberapa fakta yang mendasar;
Pertama; Ujian Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD)
Dikutip dari sumber (tirto.id), sejak 2014, UKMPPDÂ telah menjadi momok bagi lebih dari 2.700 dokter muda. Beberapa di antaranya bahkan telah mengikutinya lebih dari 20 kali. Tentunya ini menjadi perdebatan serius. Apakah kualitas Pendidikan dokter di Indonesia yang masalah, atau justru standar ujiannya yang telalu tinggi.
Kedua; Penerimaan Mahasiswa Baru
Sesuai dengan Pasal 53B Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010, disebutkan bahwa perguran tinggi wajib menyerap peserta didik baru program sarjana melalui pola SNMPTN paling sedikit 60 persen dari jumlah total.
Menurut pengamat pendidikan, Dr. Dharmayuwati Pane, Tingginya kuota menyebabkan sekolah termotivasi untuk "mengobral nilai" demi meningkatkan jumlah alumninya di universitas favorit.
Hal ini belum termasuk masalah kebocoran UN yang tidak mempertimbangkan kompetensi kualitas mahasiswa yang memilih pendidikan kedokteran.
Di sisi lain, Fakultas Kedokteran juga memiliki keterbatasan dalam penerimaan peserta didik baru. Rata-rata Rasio penerimaan hanya 1,5%. Artinya Dari 100, hanya 1-2 orang saja yang dapat diterima.
Ketiga; Biaya yang Tidak Seimbang
Imbasnya, peserta didik kedokteran secara perlahan hanya berpihak kepada kaum menengah atas saja. Sedangkan mereka yang tidak mampu mungkin harus menguburkan angannya.
Karena tingginya biaya yang dibutuhkan, sehingga profesi kedokteran lebih cenderung berorientasi bisnis. Semuanya untuk mendapatkan kembali "modal uang kuliah" yang sangat besar.
Peran pemerintah juga terasa kurang dengan tidak menyediakan program bea siswa yang cukup bagi calon peserta didik kedokteran.
Keempat; Masalah Perizinan
Dharmayuwati juga mempermasalahkan masalah perizinan. Menurutnya, banyak Fakultas Kedokteran Swasta yang tidak memiliki fasilitas yang mencukupi, meskipun mereka sudah mengatongi izin dari Kementerian Pendidikan.
Pengawasan yang komperhensif hilang, hal yang krusial terbengkalai. Tentunya ini akan mencetak kualitas dokter yang tidak seimbang.
Keraguan dari Pemerintah
Keraguan tentang dokter Indonesia juga pernah dikemukakan oleh Menteri Koordinator MaVes, Luhut B. Panjaitan. Ia pernah berniat mendatangkan dokter asing untuk mengembangkan wisata medis, pada 2020 lalu.
Semuanya bermula karena banyak WNI yang berobat ke Singapura dan Malaysia. Konon pelayanan kesehatan di kedua negara tersebut murah dan lebih cepat.
Kembali kepada pertanyaan, apakah hal ini lantas bisa menyimpulkan bahwa kualitas kedokteran di Indonesia memang masih rendah?
Tentu ada saja pembelaan dari berbagai pihak;
Dukungan Pemerintah
Slamet Budiarto, Wakil Ketua Umum IDI dengan tegas menolak pernyataan Menteri Luhut. Menurutnya tidak ada yang salah dengn kualitas dokter Indonesia.
Slamet hanya mengatakan jika pemerintah seharusnya berperan aktif untuk meningkatkan mutu dunia medis, bukan membandingkannya. Menurutnya ada beberapa permasalahan mendasar.
Yang pertama adalah masalah alat kesehatan. Di luar negeri, banyak negara yang sudah memberlakukan nol pajak bagi alat kesehatan dan obat-obatan.
Sementara di Indonesia, pajak untuk dunia medis masih sangat besar. Rumah sakit pun akhirnya tidak mampu membelinya.
Yang kedua adalah dukungan pemerintah terhadap dunia kesehatan. Di luar negeri kelihatan lebih serius. Anggaran yang digelontorkan masih jauh dari anggaran APBN negara kita.
Dokter Slamet lanjut menyarankan jika pemerintah serius, maka ada empat hal yang harus diambil, yakni;
1) tidak mengenakan pajak terhadap alkes dan obat-obatan, 2) Mendukung pembiayaan kesehatan yang rasional, 3) WNI berpotensi dari universitas terkenal di luar negeri diminta kembali ke Indonesia, dan 4) Memperbaiki sistem kesehatan.
Banyak Dokter Indonesia yang Berprestasi
Senada dengan dr. Slamet, guru besar FK-UI, dr. Fahrial Syam mengatakan kualitas medis Indonesia tidak kalah dengan luar negeri. Fahrial bahkan berani menyatakan jika dalam bebera kasus, dokter-dokter Indonesia memiliki prestasi yang tidak kalah bergengsi.
Banyak yang justru jadi pengajar di luar negeri, dan beberapa lagi memegang jabatan penting dalam organisasi kesehatan Asia dan bahkan dunia.
Animo Kekecewaan Masyarakat
dr. Fahrial lanjut mengatakan jika kekecewaan terhadap perawatan medis bisa terjadi di mana saja, tidak harus Indonesia. Ia menegaskan bahwa negara maju seperti Amerika saja, tuntutan hukum masih sering terjadi.
Tidak masalah jika banyak WNI yang lebih memilih berobat ke luar negeri. Itu adalah masalah pilihan, tentunya dengan banyak pertimbangan. Tapi, tidak bisa langsung digeneralisir bahwa kualitas kesehatan di Indonesia buruk.
"Bisa saja karena kenyamanan, ingin jalan-jalan, atau tidak ingin terganggu," pungkasnya.
Dimana-mana kualitas per orangan seorang dokter tidak pernah sama. Jangan hanya karena kebetulan kecewa terhadap seorang dokter, lantas seluruh negeri kena getahnya.
**
Argumen pada tulisan ini hanyalah mewakili sebagian masalah yang timbul dari dunia medis Indonesia. Tentu saja, masih banyak yang jauh lebih kompleks. Apa yang tampak di permukaan, bagaikan fenomena gunung es.
Namun, saya tidak dalam kapasitas membedahnya terlalu jauh. Saya selalu kecewa jika ada yang mengatakan bahwa kualitas dokter di Indonesia buruk adanya. Intinya, hanya satu, jika Anda adalah orang Indonesia, seharusnya Anda harus berbangga dengan apa pun milik negara kita, bukan malahan mencaci makinya.
**
Sejak pandemi merebak, tenaga medis telah berada di garis depan bertempur melawan virus.
Berdasarkan data bank dunia pada tahun 2020, jumlah dokter di Indonesia terendah kedua di Asia Tenggara, yakni hanya 4 dokter untuk melayani 10.000 penduduk.
Sementara hingga Kamis, 08.07.2021, Ikatan Dokter Indonesia (IDI)Â mencatat sebanyak 458 dokter yang telah gugur akibat paparan Covid-19. (kompas.com).
Dengan demikian, maka akan ada 1.145.000 penduduk yang akan kehilangan dokter. Ini tentu berbahaya.
Masih banyak para dokter dan tenaga medis mempertaruhkan nyawanya di garis depan demi menyelamatkan banyak bangsa Indonesia
Masihkah Anda ingin mengatakan jika kualitas dokter Indonesia buruk?
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H