Hal ini belum termasuk masalah kebocoran UN yang tidak mempertimbangkan kompetensi kualitas mahasiswa yang memilih pendidikan kedokteran.
Di sisi lain, Fakultas Kedokteran juga memiliki keterbatasan dalam penerimaan peserta didik baru. Rata-rata Rasio penerimaan hanya 1,5%. Artinya Dari 100, hanya 1-2 orang saja yang dapat diterima.
Ketiga; Biaya yang Tidak Seimbang
Imbasnya, peserta didik kedokteran secara perlahan hanya berpihak kepada kaum menengah atas saja. Sedangkan mereka yang tidak mampu mungkin harus menguburkan angannya.
Karena tingginya biaya yang dibutuhkan, sehingga profesi kedokteran lebih cenderung berorientasi bisnis. Semuanya untuk mendapatkan kembali "modal uang kuliah" yang sangat besar.
Peran pemerintah juga terasa kurang dengan tidak menyediakan program bea siswa yang cukup bagi calon peserta didik kedokteran.
Keempat; Masalah Perizinan
Dharmayuwati juga mempermasalahkan masalah perizinan. Menurutnya, banyak Fakultas Kedokteran Swasta yang tidak memiliki fasilitas yang mencukupi, meskipun mereka sudah mengatongi izin dari Kementerian Pendidikan.
Pengawasan yang komperhensif hilang, hal yang krusial terbengkalai. Tentunya ini akan mencetak kualitas dokter yang tidak seimbang.
Keraguan dari Pemerintah
Keraguan tentang dokter Indonesia juga pernah dikemukakan oleh Menteri Koordinator MaVes, Luhut B. Panjaitan. Ia pernah berniat mendatangkan dokter asing untuk mengembangkan wisata medis, pada 2020 lalu.
Semuanya bermula karena banyak WNI yang berobat ke Singapura dan Malaysia. Konon pelayanan kesehatan di kedua negara tersebut murah dan lebih cepat.
Kembali kepada pertanyaan, apakah hal ini lantas bisa menyimpulkan bahwa kualitas kedokteran di Indonesia memang masih rendah?
Tentu ada saja pembelaan dari berbagai pihak;
Dukungan Pemerintah
Slamet Budiarto, Wakil Ketua Umum IDI dengan tegas menolak pernyataan Menteri Luhut. Menurutnya tidak ada yang salah dengn kualitas dokter Indonesia.