Petang hari, tanggal 8 Desember 1969. Berpakaian seragam lengkap dengan bintang dua tersemat di pundak, dengan gagahnya Moersjid menemui Komandan CPM di Rutan Militer Utomo.
"Saya mau masuk," ujarnya kepada komandan jaga tersebut.
Di pagi harinya ia telah dipanggil menghadap Jenderal Umar Wirahadi Kusumah, yang kala itu menjabat sebagai Kasad. Di Markas Besar AD, keduanya duduk berhadapan.
Moersjid membaca surat yang disodorkan kepadanya dengan hati-hati. Isinya adalah berita acara penahanan dirinya. Tampaknya, Jenderal Umar sudah tidak sabar. Ia mengambil pulpennya dan dilemparkan ke arah Moersjid.
Jelas Moersjid tersinggung dan melempar pulpen itu kembali. Tintanya berceceran di baju Umar. Ia kemudian mengambil pulpennya sendiri dan menandatangani surat penahanannya.
Pada saat insiden itu terjadi, Moersjid dengan nada tinggi kepada Umar.
"Umar, kamu di mana pada saat teman-teman gue diculik."
Pada saat peristiwa G30S PKI, Jenderal Umar menjabat sebagai Panglima Kodam V Jaya. Moersjid marah kepadanya karena menganggap Umar tidak melakukan banyak hal pada saat 6 Jenderal dan seorang Letnan merenggang nyawa di Lubang Buaya.
Sempat Ingin Menjadi Satpam
Selama hampir empat tahun lamanya, Moersjid selalu berpindah-pindah kurungan. Menurut anak-anaknya, sebenarnya Soeharto telah menandatangani surat rehabilitasi Moersjid pada akhir 1970. Namun, ia baru bebas pada 1973.
Selama berada dalam tahanan, Siti Rachmah istri Moersjid bekerja banting tulang menjual roti menghidupi keluarga dengan enam orang anak. Setelah bebas dari penjara, kehidupan Moersjid tidak lebih baik.
Ia dipensiunkan dengan pangkat Mayor Jenderal pada usia 48 tahun. Terlalu dini untuk ukuran perwira aktif militer. Ekonomi keluarganya carut marut. Moersjid bahkan pernah ingin melamar menjadi satpam, karena tiada pekerjaan pas yang bisa dilakoninya.