Dalam situasi genting, Jenderal Moersjid memerintahkan supirnya menuju markas Kostrad yang tak jauh dari istana. Belakangan baru diketahui jika pasukan tersebut adalah anak buah Letkol Untung, Batalion I Tjakrabirawa.
Sesampainya di markas Kostrad, Moersjid bertemu dengan Soeharto yang sedang bersama Kasab AH. Nasution yang sedang terluka kakinya. Mereka pun lanjut berdiskusi mengenai kondisi ibu kota saat itu.
Sore harinya, Moersjid diantar oleh Letkol Herman Sarens Sudiro ke rumahnya dengan mengendarai panser.
Baca juga: Herman Sudiro, Jenderal di Era Soeharto yang Bersinar Tidak Pada Tempatnya
Juru Bicara Perwira Tinggi di Hadapan Bung Karno
Keesokan harinya, Moersjid dipanggil oleh Bung Karno dan sejumlah perwira tinggi dan Menteri lainnya ke Istana Bogor. Di Istana Bogor, Moersjid yang bertindak sebagai juru bicara tidak resmi kontingen tersebut. Tersebab ialah yang paling banyak berbicara.
Moersjid menyampaikan ke Soekarno jika banyak pihak dalam Angkatan Darat yang tak setuju jika Mayjen Pranoto Reksosamudro, Asisten III Menpangad yang ditunjuk sebagai pengganti Jenderal Yani.
Ia juga tak memperbolehkan Panglima Tertinggi sekaligus menjabat sebagai Menpangad, ketika Soekarno menyatakan keinginannya untuk memimpin langsung Angkatan Darat.
Bahkan dalam rapat di Istana Bogor, Jenderal Moersjidlah yang memberikan senjata hasil sitaan RPKAD ke Soekarno sebagai bukti kejadian pemberontakan di RRI. Bukan Soeharto, seperti pada film G30S PKI yang ramai beredar.
Dua minggu sesudahnya, Jenderal Soeharto kemudian diangkat menjadi Menpangad menggantikan Ahmad Yani. Moersjid tetap berada di posisinya, sebagai orang nomor dua di Angkatan Darat.
Baca juga: Kisah Poligami Jenderal di Era Soekarno, Libatkan Ahmad Yani, Isukan Sarwo Edhie.
Menolak Perintah Supersemar
Suatu waktu Soeharto yang menjabat Menpangad kemudian meminta Moersjid pergi bersama tiga perwira tinggi lainnya menghadap Soekarno. Tujuannya meminta surat tugas yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret.