Pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla berhasil dilumpuhkan. Tim antiterror dari Kopassandha bergerak cepat. 3 menit adalah waktu yang tepat untuk mengakhiri drama penyanderaan 65 jam itu.
Peristiwa nahas pada tanggal 31 Maret 1981 tersebut masih menyimpan sejumlah pertanyaan. Para pembajak mengaku diri mereka sebagai Komando Jihad dari Jaringan Imran.
Identitas lima pembajak yang tercatat adalah sebagai berikut;
Mahrizal, pimpinan pembajak, mantan pentolan Pemuda Pancasila, dan pernah tinggal di Arab Saudi.
Zulfikar alias Tenku Djohan Meraza, tetangga Mahrizal dan seorang karateka.
Wendy bin Muhammad Zein, adik bungsu Imran Muhammad Zein. Anggota pembajak yang paling muda (pada saat itu berusia 28 tahun).
Abu Sofyan, kawan lama Imran bin Muhammad Zein.
Abdullah Mulyono, penyair paruh waktu
Kelima teroris ini tewas terbunuh dalam peristiwa penyergapan oleh pasukan antiterror TNI. Sementara Imran, pemimpin Jemaah Imran dengan mudah dibekuk dan dijatuhi hukuman mati.
Kisah ini menapaki peristiwa teror akhir-akhir ini yang marak menghantui Indonesia. Banyak pembahasan mengenai pelaku teror. Apa yang ada dalam benak mereka? Betulkah keyakinan mereka pantas ditukar nyawa? Seperti apakah mereka dalam keseharian?
Peristiwa terorisme ternyata bukan barang baru. Meskipun pelakunya adalah para milenial, kenyataan ini telah ada sejak zaman bapak kamu. Apakah polanya tetap sama? Atau ada pergeseran nilai di masa sekarang?
Untuk itulah, mari kita meniliki latar belakang dari 5 pelaku terror Komando Jihad beserta pemimpinnya, Imran bin Muhammad Zein. Lika-liku perjalanan mereka sebelum berakhir di ujung bedil.
**
Imran bin Muhammad Zein
Imran kelahiran Bukittinggi, tahun 1950. Ayahnya bernama Muhammad Zein, seorang pedagang kain di Medan.
Sedari kecil Imran sudah terkenal sebagai preman. Ia tercatat sebagai anggota ormas Pemuda Pancasila di Medan. Bahkan termasuk pentolan inti dari organisasi ini.
Sifatnya yang uring-uringan sering menimbulkan masalah. Dalam sebuah peristiwa perkelahian, Imran menusuk lawannya pada tahun 1972. Setelah dibebaskan, Imran diusir dari rumah. Lantaran ayahnya sudah tidak tahan lagi dengan perangainya. Terlebih korban penusukannya adalah anak sahabat dekat ayahnya.
Setelah itu, Imran pindah ke Arab Saudi. Menumpang kapal haji dan berstatus imigran gelap. Tujuannya untuk belajar agama. Selama 5 tahun ia menetap di sana sembari kerja paruh waktu untuk menafkahi diri.
Di Arab Saudi Imran belajar agama dari beberapa ulama. Para Syekh yang terkenal. Setelah belajar beberapa tahun, Imran sudah bisa tampil di depan mimbar.
Gaya ceramahnya sangat atraktif dan mengundang pikat dari para pendengarnya. Orang Indonesia yang berada di Arab Saudi. Imran mendapatkan banyak sahabat, salah satunya Mahrizal yang mengepalai kelompok pembajak.
Pada tahun 1977, Imran pulang ke Indonesia. Ia menikah dan membuka usaha kecil-kecilan menjual jam tangan. Namun, Imran lebih banyak berdakwah. Ia sampai berkeliling ke beberapa kota untuk melakukannya.
Pada tahun 1978, Imran fokus berdakwah di daerah Jawa Barat. Dari sinilah Imran kemudian mendirikan kelompok Jemaah. Terlebih setelah HIPMA (Himpunan Pemuda Masjid), organisasi pemuda Cimahi yang menjadi pendukungnya dibubarkan oleh walikota Cimahi.
Jemaah Imran. Begitu nama yang ia sematkan. Imran diangkat sebagai Iman dalam sebuah pertemuan di rumah H. Adang Suherman di Cimahi, bulan Agustus 1980.
Mahrizal
Imran cukup percaya diri karena didukung oleh beberapa ulama yang sepaham dengannya. Terlebih setelah para alumni Jemaah yang ia bentuk di Arab Saudi juga telah pulang kampung. Terutama Mahrizal, tangan kanannya. Â
Sejak saat itu gerakan militansi Jemaah Imran cukup terkenal. Mereka gencar menyerang kebijakan pemerintah yang dinilai "menindas islam."
Di masa pemerintahan Soeharto tidak ada satu pun organisasi ekstrim yang dibiarkan tumbuh subur. Berbagai kegiatan yang dilakukan oleh kelompok  Jemaah Imran cenderung mendapat tekanan dari pihak kepolisian.
Mereka menjadi semakin agresif dan ekstrim. Puncaknya pada saat beberapa anggota Jemaah Imran menyerbu Kosekta 8606 Pasir Kaliki, Cicendo.
Penyerbuan yang terjadi dua minggu sebelum peristiwa pembajakan Woyla tersebut menewaskan tiga anggota polisi, seorang luka-luka. Beberapa pucuk senjata juga raib.
Dalam laporannya kepada DPR pada tanggal 13 Mei 1981, Kopkamtib menjelaskan bahwa tujuan besar Jemaah Imran adalah "mendirikan negara Islam dengan menggulingkan Pemerintahan Soeharto."
Wendy bin Muhammad Zein
Wendy adalah adik kandung Imran. Ia adalah bungsu dari empat bersaudara. Wendy merupakan anak emas dari Muhammad Zein. Tersebab sangat rajin membantu orangtua bejualan kain sewaktu masih di Medan.
Wendy pernah bersekolah di Perguruan Al Ulum, semacam pengajian di Medan. Mereka yang mengenalnya mengatakan bahwa Wendy terkenal dengan sifatnya yang tak tercela. Semua merasa heran, mengapa perangai Wendy tiba-tiba berubah setelah mendapatkan pengaruh dari kakaknya, Imran.
Sebelumnya Wendy juga tertangkap dalam penyerbuan Kosekta Pasir Kaliki, tapi berhasil dibebaskan.
Abu Sofyan
Nama aslinya adalah Sofyan Effendi. Ia dikenal bandel dan suka mengisap ganja. Jarang bergaul dengan tetangga.
Menurut cerita Zaiwar, abangnya. Saat istri Sofyan hamil, ia kabur ke Jakarta membawa 250 gram emas milik kakaknya. Beberapa tahun kemudian Sofyan kembali ke Jakarta dan menemui Edy keponakannya, anak Zaiwar.
Kepada Edy ia berkata suatu hari nanti ia akan membayar kembali emas yang diambilnya dari Zaiwar. Sofyan tidak pernah terdengar lagi sesudah itu.
Zulfikar alias Tenku Djohan Meraza
Zulfikar adalah tetangga Mahrizal setelah ia pulang kembali ke Indonesia. Zulfikar kelahiran Banda Aceh dan pindah ke Jakarta tahun 1973. Ia pemegang sabuk biru karate dan fasih berbahasa Inggris.
Atas kemampuannya ini, Zulfikar pernah bekerja di hotel Hilton sebagai security selama 2 tahun. Namun, akhirnya dipecat karena tidak masuk kerja tanpa pemberitahuan selama 10 hari.
Zulfikar dideskripsikan sebagai "seorang yang lembut, berjiwa sosial, tapi labil" oleh pelatih karatenya. Sebelum belajar karate, ia adalah pemabuk dan pernah terlibat tindak kriminal membawa ganja dari Banda Aceh ke Medan.
Peristiwa di Pesawat
"Kalau tidak membunuh ya dibunuh."
Sebuah oretan di dinding ditemukan di Hotel Lusyana, tempat pembajak menginap sebelum naik pesawat. Mencerminkan tekad mereka yang bulat untuk mati demi tujuan yang ingin dicapai.
Dalam pesawat, Zulfikar banyak sesumbar mengenai keberanian mereka melawan pemerintah yang zalim. Penyerangan ke Kosekta dianggap sebagai simbol perlawanan yang tinggi.
"Saudara-saudara tahu, kami ini tidak takut dengan siapa pun. Kami sendiri pernah menyerbu ABRI di sarangnya. Ini Wendy berhasil kami bebaskan." Ungkap Zulfikar.
Zulfikar juga dibakar fanatisme. Kenyataan hidup seolah-olah tidak penting dibandingkan tujuan mulia mereka. Ia sesumbar rela keluar dari Hilton demi perjuangan memenangkan Islam.
Mereka rajin sholat. Azan selalu dikumandangkan setiap waktu salat. Mereka juga secara demonstratif melakukan salat 5 waktu dan menghina penumpang lain yang beragama Islam.
"Hey... kamu Islam, kenapa dari tadi saya lihat kamu tidak pernah sembahyang?"Â Hardik Abu Sofyan.
Sang penumpang menjawab, "bagaimana saya bisa sembahyang, pak. Badan saya terikat begini."
Mahrizal dan Zulfikar juga sering melecehkan penumpang.
"Kamu ini Islam munafik, tidak mau berjuang seperti kami." Ujar mereka.
Di lain kesempatan, pada saat pesawat berhenti lama di bandara Bangkok, dan mesin pesawat dalam keadaan mati, seorang penumpang yang kepanasan meminta izin untuk salat. Tapi, salah satu pembajak justru menghardik dan melarangnya.
"Kalau kamu sudah mau dimatiin, baru ingat sembahyang, ya?"
para pembajak juga memamerkan sikap militansi mereka berjuang membela Islam.
"Kamu semua harus saya bawa ke Libya. Di sana baru kamu bisa lihat kesengsaraan manusia. Kalau di sini kalian masih mampu bermanja-manja dan hidup enak," kata Mahrizal.
Saat itu Libia memang sedang akrab dengan situasi perang dan penderitaan. Â
Dikutip dari Harian Militer Angkatan Bersenjata (02/04/1981). Seorang wanita berusia 21 tahun bernama Emmy membuat pengakuan;
Awalnya ia mengira para pembajak berhati baik. "Tengah mencari orang jahat di antara penumpang." Namun, anggapan tersebut berubah setelah para pembajak menyita semua barang berharga milik penumpang.
Pada hari-hari berikutnya ketika semua sudah lelah, sikap para pembajak semakin menjadi-jadi. Mereka sering mengumpat, bersikap kasar kepada penumpang, dan melecehkan penumpang wanita.
Untuk mengisi kekosongan, para pembajak bergiliran memberikan ceramah.
"Yang paling pinter ceramah itu si Mahrizal. Di awal-awal itu, kalau bicara, dia seakan-akan menampakkan diri paling suci. Tapi lama-lama malah mengumpat dan omongannya sudah tidak enak didengar lagi," cerita Tjipto Harsono, salah satu penumpang.
Baca juga: Tragedi Woyla, Kisah Nyata 65 Jam Pembajakan Pesawat Garuda Indonesia
Dari kelima pembajak, hanya Abdullah Mulyono yang paling tidak diketahui latar belakangnya. Ia hanya dikenal sebagai seorang penyair setelah meninggalkan sepucuk kertas berisikan puisi.
Oh Kapal! Bila hari tiba dengan terang
Tentu engkau akan padam dari derita.
Tetapi jika engkau waktu itu
Sudah habis nasibmu yang baik
Tentu ajalmu akan bersamaku
Dan semua itu akan harus
Berpisah dengan dunia
Yang fana ini Pembajak 28-3-'81
**
Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud mendiskreditkan agama yang diyakini oleh para pembajak. Namun, seperti yang kita ketahui bersama. Agama apa pun di dunia ini tidak pernah mengizinkan umatnya untuk menyakiti sesama manusia, apalagi yang seiman.
Bukanlah Tuhan, Agama, atau Para Nabi. Adalah manusia yang sering bertindak kebablasan dan merasa paling tahu. Pada dasarnya Tuhan maha pengasih dan tidak pernah menunjukkan jalan teror untuk menyelesaikan masalah. Â Â
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H