"Dari awalnya, badminton Indonesia dikarakterkan sebagai tradisi non-diskriminasi. Jadi Anda bisa mengerti mengapa badminton di sini sangat kuat. Tradisi dari non-diskriminasi adalah contoh bagaimana prestasi dapat diraih tinggi dan menjadi alasan untuk kelanjutan yang signifikan dari permainan kita."
Brown menambahkan bahwa olahraga badminton di saat itu tidak memiliki kubu. Tidak dianggap milik kaum penjajah dan juga bukan bagian dari pergerakan nasionalisme.
Olahraga ini tumbuh subur dalam masyarakat sebagai bentuk persatuan tanpa membedakan suku, agama, dan ras.
Contoh sederhana. Bangsa Belanda tidak menjadikan olahraga ini sebagai simbol superior. Beda dengan tenis. Haram hukumnya orang Belanda kalah dari etnis pribumi atau China.
Tapi, jika orang Belanda bermain badminton dan kalah, maka itu adalah hal yang wajar. Tersebab orang Belanda memang bukan pemain badminton.
Sementara gerakan nasionalisme konsisten dengan aksi mengalahkan Belanda dari segala sisi. Sepak bola yang disorot dunia kadang digunakan oleh kaum pergerakan untuk mempermalukan Belanda.
Sepak bola digunakan secara politik oleh para pejuang untuk mendapat dukungan nasionalisme.
Soedirman yang memimpin PORI gerah melihat kenyataan bahwa Persatuan ini hanya terdiri dari para pribumi saja. Soedirman akhirnya berinisiatif untuk menggabungkan organisasi badminton pribumi dengan PERBAD yang didominasi oleh kaum Tionghoa. Terbentuklah PBSI.
Pada akhir wawancaranya, Abdul Manan Rasudi mengutip sebuah kesimpulan. Bahwa pada dasarnya olahraga itu memang tidak mengenal suku, agama, dan ras.
"Kalau udah jago mah, jago aja, tidak peduli apa pun etnisnya."