Aku adalah korban perundungan orangtua sendiri. Sebabnya selalu dipaksa menjadi pemain badminton handal. Sedari kecil sudah dimasukkan sebagai anggota PB. Avanti. Bukan karena berbakat. Persisnya koneksi KKN.
Di pusat pelatihan (yang tak serius) ini, diriku lebih banyak merenung. Bercita-cita menjadi pemain layangan kelas dunia, apa daya belum ada cabang olahraga resminya. Bola ditepuk meleset. Mata masih terus memandang ke atas genteng. Siapa tahu ada layangan melengket.
Nasib terbalik dengan sepupu yang masih tinggal serumah. Ia adalah pemain sepak bola berbakat. Pernah diundang PSM untuk audisi. Apa daya Engkong marah-marah;
"Haiya, tidak ada pemain bola terkenal Indonesia, waaaa..."Â Ujarnya sambil misuh-misuh.
Itulah sebabnya aku diberi nama Rudy. Papa ingin aku bisa seperti dia. Bukan impian yang tidak masuk akal. Papa bilang orang Indonesia seharusnya jago-jago badminton. Layaknya Rudy Hartono (bukan Gunawan).
![Rudy Hartono (sumber: kompas.com)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/03/18/3-kompas-2349-com-605277de8ede48619e78f672.jpg?t=o&v=770)
Memang prestasi Indonesia di bidang olahraga ini cukup presitisius. Sebutkan saja nama-nama pemain terkenal. Mulai dari duo minion. Kevin dan Marcus yang milenial hingga Alan dan Susi Susanti yang barusan ada filmnya.
Menjawab pertanyaan mengapa orang Indonesia jago badminton, mari kita mulai dari pendapat ahlinya. Potongan wawancara ini saya kutip dari sumber (vice.com). Isinya tentang wawancara Abdul Manan Rasudi ke salah satu tokoh badminton terkenal Indonesia, Chrstian Hadinata. Â
Koh Chris, demikian nama panggilannya adalah spesialis ganda putra dan campuran. Prestasi di All England terasa kecil dengan kiprahnya di dunia bulutangkis internasional.
Ia mampu berpasangan dengan siapa saja. Mulai dari Ade Chandra, Lius Pongoh, Retno Kustijah, Atik Jauhari, Imelda Wiguna, Ivana Lie, Icuk Sugiarto hingga Liem Swie King.
Hasilnya hanya satu: Gelar juara (hampir) di setiap pertandingan!
Koh Chris mulai menjawab pertanyaan dengan alasan yang paling optimis;
"Orang Indonesia beruntung dikaruniai talenta bermain bulutangkis. Disokong oleh banyaknya peminat, juga bibit pemain yang bertebaran di seluruh Nusantara."
Minat yang besar ini bisa dilihat dari animo masyarakat pada pertandingan akbar, seperti All England atau Indonesian Open. Ditambah lagi, pusat pelatihan juga bertebaran di mana-mana. Mulai dari tingkat desa hingga nasional.
![Christian Hadinata (sumber: youtube.com)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/03/18/3-youtube-com-6052786a8ede480e931b2542.jpg?t=o&v=770)
Diambil dari sumber (sehatq.com), sebuah penelitian pada tahun 2016 menyatakan bahwa tinggi rata-rata pria Indonesia berada di urutan 188 dari 200 negara yang disuvei. Termasuk pendek, dengan angka 160 cm.
Tak dapat dipungkiri, postur tubuh juga sangat mempengaruhi performa olahragawan. Namun, menurut Koh Chris, tinggi badan tidak terlalu berpengaruh di badminton.
Olahraga badminton bukan "body contact sport." Postur kekar dan menjulang tinggi tidaklah penting. Lagipula dengan tubuh yang kecil dan ringan pemain Indonesia bisa memanfaatkan kelebihan lainnya, yakni kecepatan.
Christian juga mengingatkan pentingnya "insting dan feeling." Bagi pemain, kecepatan gerakan tubuh harus disertai dengan kecepatan mengambil keputusan.
"Kalau insting dan feeling kita bagus, sepertinya bola yang mengarah ke kita, bukan kita yang mengejar bola," ujarnya.
![Susi Susanti (sumber: cnnindonesia.com)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/03/18/3-cnnindo-605278c18ede480eb320a772.jpeg?t=o&v=770)
Ternyata menurut Christian, anugrah Tuhan kepada pemain Indonesia memang berlebihan. Menurutnya, pemain badminton Indonesia memiliki banyak pukulan aneh bin ajaib yang tidak dimiliki bangsa lain.
Ia memberi contoh beberapa pemain seperti Taufik Hidayat, Tri Kusharjanto, Iie Sumirat, hingga Kevin Sanjaya. Menurutnya, mereka memiliki variasi pukulan yang cerdas dan lengkap. Mereka siap diajak rally sampai adu smash.
Anugrah ini tidak bisa didapatkan melalui pelatihan nasional (pelatnas) hingga ke padepokan bulutangkis mana pun.Â
"Sudah dari sononya dan gak bisa diajarin."Â Ujar Christian Hadinata.
![Taufik Hidayat (sumber: liputan6.com)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/03/18/3-liputan6-com-605278b4d541df4cf32c8b92.jpg?t=o&v=770)
Hingga disini kita tahu rumus sederhana mengapa orang Indonesia jago main bulutangkis;
Banyak minat + Talenta yang Membuncah + Kecepatan + Insting + Variasi pukulan yang komplit.
Namun, untuk menjawab pertanyaan mengapa orang Indonesia jago bulutangkis, rasanya tidak lengkap jika tidak menilik sejarah
Olahraga ini lahir di India. Di sana ada sebuah permainan tradisional yang bernama "poona." Bangsa Inggris yang pernah menjajah negeri itu kemudian memodifikasinya dan diberi nama Badminton.
![Badminton zaman dulu (sumber: tokopedia.com)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/03/18/3-tokopedia-605279468ede480e9204f342.jpg?t=o&v=770)
"All England" sendiri berarti Inggris. Nama "Thomas" dan "Uber" juga berasal dari negeri moyangnya badminton tersebut. Sayangnya, sepertinya olahraga ini terciptakan untuk orang Asia. Sejak tahun 1949 piala Thomas dan Uber tidak pernah lagi keluar dari Asia.Â
Di benua Asia, olahraga ini baru populer pada tahun 1934. Adalah Malaya dan India yang merupakan negara koloni Inggris yang mendapat kesempatan terbentuknya persatuan bulutangkis. Kala itu Indonesia masih belum apa-apanya.
Tidak heran ketika piala Thomas pertama kali menjadi turnamen internasional, kedua negara tersebut menjadi lawan yang hebat bagi peserta lain. Malaya bahkan berhasil menggondol piala Thomas di ajang internasional untuk pertama kalinya.
Di Indonesia, olahraga ini telah dikenal di kalangan masyarakat sebelum zaman pendudukan Jepang. Beberapa pemain bahkan sudah masuk dalam taraf pemain internasional. Ferry Sonnevile misalnya.
![Piala Thomas diboyong ke Indonesia (sumber: jakarta.go.id)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/03/18/3-jakarta-go-id-605279ad8ede480e9204f344.jpg?t=o&v=770)
Keterlibatan Indonesia pertama kali di ajang bergengsi ini membuahkan hasil yang memuaskan. Ferry Sonnevile dan kawan-kawan berhasil memboyong piala Thomas ke tanah air melalui hasil pertandingan yang mengesankan dan mutlak melawan Malaya.
Indonesia sendiri sebenarnya juga diuntungkan dari sisi sosiologi. Ada sebuah pernyataan menarik dari Colin Brown, Universitas Curtin. Menurutnya;
"Popularitas olahraga ini terbentuk karena awalnya badminton banyak diminati oleh kaum minoritas (khususnya etnis Tionghoa)."
Ada dua hal yang mendasar;
Pertama, cukong-cukong Tionghoa banyak mempromosikan olahraga ini. Mereka mengeluarkan kocek sendiri untuk membuat kompetisi ini menjadi populer hingga dikenal luas ke seluruh lapisan masyarakat.
Kedua, badminton tidak dikategorikan sebagai olahraga resmi Hindia Belanda hingga akhir 1930. Dari 20 asosiasi olahraga di Jawa, takada asosiasi bulutungkis. Hal ini membuktikan bahwa warga Belanda tidak tertarik.
Dibandingkan dengan sepak bola, jelas ini merupakan keuntungan. Badminton dapat tumbuh berkembang tanpa adanya campur tangan politik dari pihak penjajah. Membuatnya dapat tumbuh alami hingga ke masyarakat bawah.
![Ferry Sonnevile (sumber: indosport.com)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/03/18/3-indosport-com-60527a258ede481ece4c55b2.jpg?t=o&v=770)
"Dari awalnya, badminton Indonesia dikarakterkan sebagai tradisi non-diskriminasi. Jadi Anda bisa mengerti mengapa badminton di sini sangat kuat. Tradisi dari non-diskriminasi adalah contoh bagaimana prestasi dapat diraih tinggi dan menjadi alasan untuk kelanjutan yang signifikan dari permainan kita."
Brown menambahkan bahwa olahraga badminton di saat itu tidak memiliki kubu. Tidak dianggap milik kaum penjajah dan juga bukan bagian dari pergerakan nasionalisme.
Olahraga ini tumbuh subur dalam masyarakat sebagai bentuk persatuan tanpa membedakan suku, agama, dan ras.
Contoh sederhana. Bangsa Belanda tidak menjadikan olahraga ini sebagai simbol superior. Beda dengan tenis. Haram hukumnya orang Belanda kalah dari etnis pribumi atau China.
Tapi, jika orang Belanda bermain badminton dan kalah, maka itu adalah hal yang wajar. Tersebab orang Belanda memang bukan pemain badminton.
Sementara gerakan nasionalisme konsisten dengan aksi mengalahkan Belanda dari segala sisi. Sepak bola yang disorot dunia kadang digunakan oleh kaum pergerakan untuk mempermalukan Belanda.
Sepak bola digunakan secara politik oleh para pejuang untuk mendapat dukungan nasionalisme.
![Soedirman (sumber: indosport.com)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/03/18/3-indosport-com2-60527a678ede481e563610c2.jpg?t=o&v=770)
Soedirman yang memimpin PORI gerah melihat kenyataan bahwa Persatuan ini hanya terdiri dari para pribumi saja. Soedirman akhirnya berinisiatif untuk menggabungkan organisasi badminton pribumi dengan PERBAD yang didominasi oleh kaum Tionghoa. Terbentuklah PBSI.
Pada akhir wawancaranya, Abdul Manan Rasudi mengutip sebuah kesimpulan. Bahwa pada dasarnya olahraga itu memang tidak mengenal suku, agama, dan ras.
"Kalau udah jago mah, jago aja, tidak peduli apa pun etnisnya."
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI