Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Mungkin Kita Harus Belajar dari Pariman Mengucapkan Kata "K*ntol"

16 Maret 2021   16:22 Diperbarui: 16 Maret 2021   16:32 788
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mungkin Kita Harus Belajar dari Pariman Mengucapkan Kata

Peringatan: Ini bukanlah tulisan porno.

Saya membayangkan pertemuanku dengan Pariman di tahun 1950an. Kala itu diriku adalah seorang tenaga penjual produk bedak Gagarontol. Bedak ini berfungsi untuk menghilangkan gatal akibat; "Djarang Mandi, Digigit Serangga, ataw Main Lonte."

Pariman memandangku terpaku ketika kujelaskan bisa menyembuhkan "manuk e" yang gatal-gatal. Ia menggaruk-garuk kepala sambil melihat jari yang kutunjukkan pada selangkangannya.

"Ohhhh.... K*NTOL!" (ini bukan porno literasi).

Kejadian ini jelas hanya khayalan. Kudapatkan pada saat Daeng Khrisna Pabichara mengirimkan sebuah iklan jadul di grup komunitas KPB (Kompasianer Penulis Berbalas).

Tagnya; "orang dulu lebih jujur, ya?"

Iklan Gagantol (sumber: niart.studio)
Iklan Gagantol (sumber: niart.studio)
Memang iklan telah mengalami evolusi. Apa yang sekarang dianggap konyol, mungkin dulu tidak. Saya masih ingat di zaman engkong masih hidup dulu. Minyak angin selalu dikantongi. Bukannya sering sakit kepala, tapi itu adalah parfumnya.

Manusia zaman dulu jelas pikirannya lebih sederhana. Jangankan medsos, surat kabar dan majalah pun terasa mewah. Jangankan pansos, bansos saja belum ada.

Pikiran pun lebih suci dan murni. Minimal itu pendapat saya. "K*ntol" yang dimaksud oleh Pariman tentu bukanlah ucapan porno. Ramai panen pembredelan di zaman sekarang. "K*ntol" yang dimaksud tentu adalah alat pipis.

Zaman modern tidak serta merta membuat pikiran lebih maju. Apa yang dulu dianggap sebagai hal yang biasa saja, sekarang justru menjadi "ekstrimis." Tubuh wanita yang seharusnya indah pun menjadi jijik berantakan.

**

Mari kita lihat fakta. Tanpa bermaksud merendahkan sejarah bangsa, banyak pakaian adat wanita Nusantara yang mempertontonkan belahan dada. Di zaman yang harusnya lebih liberal ini. Belahan dada tersebut malah "diblur"-kan.

Dan mohon maaf, moyang kita malahan mewariskan busana tanpa penutup atas, alias tidak berkutang. Berseliweran di tengah keramaian desa tanpa adanya kasus pemerkosaan.

Disunting dari sumber (bbc.com), seorang pengguna Facebook bernama Dea Safira harus rela akunnya diblokir oleh Facebook. Alasannya "mengekspos ketelanjangan" dan "eksplisit secara seksual."

Dengan menelusuri mesin pencari yang bebas diakses oleh siapa saja, Dea mengumpulkan sejumlah foto wanita Indonesia dari tahun 1950an. Tanpa penutup dada!

Album yang diberi judul "The Culture of Real Indonesian Women," itu mendapat banyak laporan dari pengguna Facebook lain. Dalam sebuah blog, pegiat gerakan perempuan ini lalu menulis pembelaannya;

"Saya melihat foto-foto yang saya kumpulkan memiliki nilai bagi sejarah Indonesia. Dan itu tidak dibuat sebagai foto pornografi, cabul, atau skandal, melainkan sebagai aspek sejarah yang bisa membantu masyarakat berpikir kembali tentang seksualitas tubuh perempuan. Inilah mengapa saya menyadari penting untuk membagikan dan mengedukasi tentang isu ini."

Dikutip dari sumber (kompas.com), gerakan yang dilakukan oleh Dea ini sebagai bentuk protesnya terhadap "victim blaming" bagi kaum wanita. Atau aksi perkosaan selalu menyalahkan cara berpakaian seorang wanita.

**

Jauh sebelum masa diriku bertemu Pariman, tepatnya di zaman Yunani Kuno. Patung David karya Michelleangelo dan sejenisnya telah dibuat dengan memamerkan aurat tanpa kain.

Jauh sesudah aku bertemu dengan Pariman, tepatnya di Pantai Ancol. Patung Putri Duyung bertelanjang dada ditutup kain. Pornografi telah berevolusi dan mendapatkan tempatnya tersendiri.

Mungkin kita harus belajar dari moyang di Yunani. Diambil dari sumber (suara.com), Neil MacGregor, ahli sejarah dari British Museum berkata bahwa bangsa Yunani adalah bangsa pertama yang menganggap telanjang sebagai hal yang tidak tabu. Masyarakat Yunani Kuno justru menjadikan ketelanjangan sebagai simbol kepahlawanan dan kedewasaan. Sama sekali bukan pornografi.

**

Senada dengan hal ini, Dewi Candaningrum, Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan berkata bahwa publik dan pemerintah harus membedakan konten antara edukasi dan pornografi.

"Pengetahuan tentang seksualitas dan tubuh harus dipelajari sejarahnya. Ini terkait juga dengan sejarah fesyen dan Nusantara. Hal-hal seperti ini tidak boleh disensor karena merupakan pengetahuan," ujarnya.

Dewi menilai saat ini masyarakat semakin konservatif dan ketakutan terhadap tubuh perempuan. Ia menyebutnya sebagai "fobia baru."

Istilah ini ditanggapi dengan serius. Dewi bahkan menghubungkannya dengan kata "fobia komunis." Sesuatu yang harus diberantas hingga akar. Jadi, jika tubuh wanita dianggap fobia, maka jelas akan menjadikan perempuan sebagai korban.

**

Lantas apa yang membuat mengapa masyarakat modern semakin takut dengan "erotisme?"

Informasi yang tumbuh subur membuat jaringan informasi tidak lagi tersaring dengan baik. Seks memang memiliki dua sisi yang saling berseberangan.

Yang pertama sebagai edukasi, karena memang proses reproduksi manusia adalah hal yang tak terbantahkan. Mengagungkan seks sebagai seni adalah upaya masyarakat zaman dulu untuk menghormati siklus kehidupan.

Kedua, seks sebagai alat eksploitasi. Seiring waktu berjalan, norma Susila menjadi semakin teriris. Seks tidak lagi menjadi sebuah seni yang terhormat. Ia menjadi bagian dari rekreasi yang tidak bertanggung jawab.

**

Dengan begitu cepatnya kemajuan peradaban, manusia menjadi bingung dengan pencampuran antara informasi, edukasi, dan eksploitasi. Menurut penulis, semuanya berawal dari pikiran.

Pikiran yang jernih tidak akan tergoda dengan seribu bayangan wanita telanjang. Namun, belahan dada yang rendah hanya akan menimbulkan chaos bagi manusia yang senang dengan eksploitasi seksual.

Seperti pada kisah yang pernah aku alami sendiri sekitar sepuluh tahun yang lalu;

Saat itu, saya berkunjung ke rumah sahabat. Ia adalah pengusaha sukses internasional. Kawan yang mengajakku berkunjung ke rumah konglomerat itu sudah mewanti-wanti.

"Rud, apa pun yang kamu lihat di ruang tamunya nanti, janganlah kikuk, apalagi berkomentar."

Masih menganggapnya biasa-biasa saja, aku melangkah kaki masuk ke sebuah ruangan yang cukup besar. Mata terhenti pada sebuah dinding dalam ruangan. Sebuah lukisan yang cukup besar terpampang. Isinya adalah foto wanita telanjang tanpa busana sama sekali.

"Jika hanya ini saja, untuk apa juga aku kikuk." Ujarku dalam hati.

Perbincangan berlanjut dengan santai. Kami bertiga mengisi hari itu dengan canda dan tawa. Tak sekali pun mata tertuju kepada karya seni "bugil" itu. Hingga di akhir pembicaraan, sang tuan rumah menyelutuk.

"Cantik, kan?" Ujarnya menunjuk ke arah lukisan.

Aku menikmatinya dengan seksama. Memang cantik, luar biasa. Tidak ada kesan porno sama sekali. Hingga sang konglomerat muda kembali menyelutuk

"Itu adalah lukisan istriku."

Di situlah aku mulai kikuk. Hati menyesal, mengapa aku tidak melihatnya lama-lama ketika aku mempunyai cukup waktu. Mungkin saja sang suami menganggap aku adalah lelaki terhormat yang bisa menikmati seni lukisan. Tapi, rasanya sih dia salah.

**

Aku pamitan kepada Pariman yang pada hari ini telah mengajariku tentang makna kejujuran. Aku pamitan untuk buang air kecil. Ia menyahut dari jauh,

"Hei, Manukmu dicekeli." Teriak Pariman dari jauh.

Aku yang sudah menuliskan artikel ini, tentunya paham jika "manuk" itu adalah "k*ntol."

Referensi: 1 2 3 4

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun