Brinkman tak gentar menghadapi persidangan. Ia dibela oleh seorang pengacara terkenal bernama Hoorweg. Ia juga mencoba menyuap jaksa penuntut, Wedana Weltevreden sebesar tiga ribu gulden. Asisten jaksa sebanyak dua ribu gulden.
Hingga persidangan berlangsung, dirinya masih terkekeh-kekeh mengingat kaumnyalah yang menguasai Batavia. Ia masih mempercayai keberadaannya sebagai anggota Societeit Concordia dapat menyelematkannya.
Keadilan Ditegakkan
Pengadilan (Raad van Justitie) mencatat jalannya pengadilan dengan sangat cermat. Proses pengadilan dibuka untuk umum. Media leluasa meliputinya.
Brinkman mati kutu ketika saksi kunci dihadirkan. Ia adalah Rosna, sejawat Fientje yang mengintip dari balik bilik bambu.
"Tuan, saya seorang perempuan, jadi saya penakut, tapi saya katakan sekali lagi, laki-laki itulah yang telah melakukan pembunuhan." Demikian kesaksian Rosna kepada ketua pengadilan.
Brinkman dinyatakan bersalah. Ia dijatuhi hukuman mati yang tak pernah dijalaninya. Brinkman keburu menghabisi nyawanya sendiri.
Rosihan Anwar, dalam bukunya Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia (2004) menuliskan;
"Di dalam sel kematian, sungguh dia tak bisa percaya bahwa seorang kulit putih yang kaya harus membayar dengan nyawanya sendiri karena membunuh seorang pelacur Indo. Dia lebih percaya pada teman-temannya yang berpengaruh besar meleset. Hari eksekusinya kian mendekat. Tak bisa dibendung. Dia menangis-nangis histeris. Akhirnya Brinkman bunuh diri,"
Munculnya Jurnalisme Kuning
Berhari-hari lamanya, semua orang mengikuti jalannya berita. Meskipun isinya tidak substansial, karena hanya merupakan pengulangan informasi lama. Namun, masyarakat senang membacanya.