Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Tragis Fientje de Feniks, Pramuria Tersohor Zaman Kolonial Belanda

20 Februari 2021   15:40 Diperbarui: 20 Februari 2021   17:26 3644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Fientje de Feniks (sumber: liputan6.com)

"Hidup yang berarti, dan mati lebih berharga lagi." ~ Pramoedya Ananta Toer

Gadis itu lahir di Batavia tahun 1893. Usianya baru menginjak 19 tahun. Ia sudah terjun menjadi pramuria bagi kaum Kumpeni. Tidak ada yang tahu, dari silsilah keluarga mana ia berasal.

Gadis itu berparas cantik. Wajah blasteran Eropa dan Pribumi. Matanya bulat, hidungnya mancung. Bibirnya sensual, rambutnya hitam panjang. Tidak ada yang duga, mengapa ia menjadi pelacur.

Gadis itu bernama Fientje de Feniks. Pelanggannya berasal dari kaum berpoenja. Harga pelayanannya konon menggetarkan langit. Tidak ada yang sangka, mengapa nasibnya berakhir tragis.

Batavia, 17 Mei 1912

Ilustrasi Batavia Zaman Kolonial (sumber: intisari.grid.id)
Ilustrasi Batavia Zaman Kolonial (sumber: intisari.grid.id)
Sesosok mayat dengan wajah rusak tersangkut di pintu air Kali Baru (daerah Senen). Terbungkus karung dan menjadi tontonan warga. Mayat tersebut masih mengenakan sarung dan kebaya.

Awalnya dikira wanita China. Tapi setelah pihak berwajib melakukan identifikasi, mayat itu adalah Fientje de Feniks. Primadona dari rumah bordil Oemar Ompong.

Kematian Fientje yang misterius sontak menjadi sorotan media kala itu. Berita menghebohkan pertama di awal abad ke 20 yang melibatkan skandal seks dan kekerasan.

Surat kabar terbitan Batavia, Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch Indie, dan surat kabar terbitan Surabaya, Soerabaische Handelsblad, menerbitkannya hingga berhari-hari lamanya.

"Peristiwa ini jelas membuat penduduk Batavia heboh karena ini kali pertama sebuah peristiwa pembunuhan dengan peristiwa kekerasan dan seks. Dari bukti-bukti fisik dapat disimpulkan bahwa perempuan Indo itu tewas dicekik," dikutip dari: (Bukan) Tabu di Nusantara (2018), Achmad Sunjayadi.

Peristiwa Pembunuhan

Foto Fientje de Feniks (sumber: kumparan.com)
Foto Fientje de Feniks (sumber: kumparan.com)
Dari balik dinding bambu, Rosna pucat terpapar. Ia melihat Fientje dicekik oleh seorang lelaki bertubuh besar. Sang lelaki terlihat sangat beringas. Kemarahan telah menjadi nalar pedas.

Sesaat sebelumnya, Rosna terbangun karena ribut suara pertengkaran. Teman seprofesinya ribut dengan seorang lelaki. Tidak jelas apa yang menjadi bahan pertengkaran. Rosna mengenali sang lelaki, seseorang yang sering berkunjung meniduri Fientje.

Hingga akhirnya Fientje yang memberontak mulai terkulai lemas. Rosna tidak berani bertindak apalagi bersuara. Kejadiannya begitu cepat. Ia telah menjadi saksi pembunuhan kawannya itu.

Ilustrasi Rumah Bordil Zaman Belanda (sumber: voi.id)
Ilustrasi Rumah Bordil Zaman Belanda (sumber: voi.id)
Lelaki itu bukan orang asing. Ia dan Fientje telah memadu kasih. Hubungan mereka selalu harmonis. Dengan bayaran gulden yang tidak sedikit.

Lelaki itu jatuh cinta kepada Fientje. Ia tidak rela sang primadona ditiduri oleh lelaki lain. Baginya Fientje adalah miliknya seorang sahadja.

Lelaki itu memiliki harta berlimpah. Uangnya mampu menjamin hidup Fientje. Asalkan ia rela dijadikan simpanan.

Lelaki itu tersinggung. Sang pujaan hati menolaknya. Fientje berkata ia lebih rela menjadi pelacur, daripada menjadi peliharaan.  

Investigasi Kejadian

Foto Gemser Brinkman (sumber: yukepo.com)
Foto Gemser Brinkman (sumber: yukepo.com)
Seorang Komisaris besar Polisi Batavia, Ruempol langsung memimpin penyelidikan kasus pembunuhan Feniks. Ia bertekad untuk menjadikan Batavia sebagai tempat yang aman.

Orang pertama yang dimintai keterangan adalah Oemar Ompong, sang muncikari. Tidak susah bagi Ruempol untuk menggali informasi. Sang muncikari yang ketakutan langsung menyebut nama seorang lelaki Belanda, Gemser Brinkman.

Brinkman kerap bertandang ke rumah bordilnya. Ia juga adalah langganan tetap Fientje. Susah bagi polisi untuk mempercayai keterangan Oemar. Brinkman bukanlah orang sembarangan. Ia adalah lelaki Belanda terhormat dan juga adalah anggota Societeit Concordia, sebuah klub mewah yang beranggotakan para saudagar zaman Kolonial.

Tapi, benang merah mulai tersambung ketika polisi Batavia menemukan Pak Sulin dan dua orang lainnya. Merekalah yang bertugas membuang mayat Fientje di Kali Baru. Dalam ketakutan, Sulin mengaku menyesal telah menerima gulden dari lelaki yang bernama Brinkman.

Investigasi Terhalang Status dan Suap

Kaum Jetset Kolonial Belanda (sumber: kompasiana.com)
Kaum Jetset Kolonial Belanda (sumber: kompasiana.com)
Di zaman tersebut, ketimpangan hukum marak terjadi. Nama baik seorang Belanda jauh lebih penting daripada sesosok mayat pribumi. Brinkman tentu saja menolak segala tuduhan yang mengarah kepadanya. Apalagi dirinya bukan seorang Belanda biasa.

Brinkman tak gentar menghadapi persidangan. Ia dibela oleh seorang pengacara terkenal bernama Hoorweg. Ia juga mencoba menyuap jaksa penuntut, Wedana Weltevreden sebesar tiga ribu gulden. Asisten jaksa sebanyak dua ribu gulden.

Hingga persidangan berlangsung, dirinya masih terkekeh-kekeh mengingat kaumnyalah yang menguasai Batavia. Ia masih mempercayai keberadaannya sebagai anggota Societeit Concordia dapat menyelematkannya.

Keadilan Ditegakkan

Ilustrasi Wanita Pribumi Zaman Kolonial (sumber: balasoka.web.id)
Ilustrasi Wanita Pribumi Zaman Kolonial (sumber: balasoka.web.id)
Malang bagi Brinkman, kasus yang terlanjur gaduh itu menyudutkannya. Seorang Belanda tulen membunuh seorang Indo tentu bukan hal biasa. Itulah yang berada di benak masyarakat.

Pengadilan (Raad van Justitie) mencatat jalannya pengadilan dengan sangat cermat. Proses pengadilan dibuka untuk umum. Media leluasa meliputinya.

Brinkman mati kutu ketika saksi kunci dihadirkan. Ia adalah Rosna, sejawat Fientje yang mengintip dari balik bilik bambu.

"Tuan, saya seorang perempuan, jadi saya penakut, tapi saya katakan sekali lagi, laki-laki itulah yang telah melakukan pembunuhan." Demikian kesaksian Rosna kepada ketua pengadilan.

Brinkman dinyatakan bersalah. Ia dijatuhi hukuman mati yang tak pernah dijalaninya. Brinkman keburu menghabisi nyawanya sendiri.

Rosihan Anwar, dalam bukunya Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia (2004) menuliskan;

"Di dalam sel kematian, sungguh dia tak bisa percaya bahwa seorang kulit putih yang kaya harus membayar dengan nyawanya sendiri karena membunuh seorang pelacur Indo. Dia lebih percaya pada teman-temannya yang berpengaruh besar meleset. Hari eksekusinya kian mendekat. Tak bisa dibendung. Dia menangis-nangis histeris. Akhirnya Brinkman bunuh diri,"

Munculnya Jurnalisme Kuning

Ilustrasi Surat kabar Het Nieuws (sumber: bertotukan.com)
Ilustrasi Surat kabar Het Nieuws (sumber: bertotukan.com)
Sejak kejadian pembunuhan Fientje meruak, media telah meliputinya dengan seksama. Surat kabar Het Nieuws, dan Soerabaische Handelsblad, memborbardir berita dengan bahasa yang sensasional, judul yang bombastis, dan teras yang menarik.

Berhari-hari lamanya, semua orang mengikuti jalannya berita. Meskipun isinya tidak substansial, karena hanya merupakan pengulangan informasi lama. Namun, masyarakat senang membacanya.

Menurut catatan sejarah, pemberitaan kejadian tersebut adalah tonggak utama kemunculan Jurnalisme Kuning di Hindia Belanda (Indonesia).

Dikutip dari sumber (wikipedia.org), Jurnalisme Kuning adalah; "jenis jurnalisme dengan judul-judul berita yang bombastis, tetapi isinya tidak substansial. Jurnalisme kuning bertujuan meningkatkan penjualan, oleh karena itu sering dituduh sebagai jurnalisme yang tidak profesional dan tidak beretika."

Jejak Literasai Kasus Fientje

Petite Histoire Indonesia (2004), karangan Rosihan Anwar (Sumber: goodreads.com)
Petite Histoire Indonesia (2004), karangan Rosihan Anwar (Sumber: goodreads.com)
Buku karya Rosihan Anwar, Petite Histoire Indonesia (2004) bukan satu-satunya yang membahas kejadian ini. Adalah Tan Boen Kim, dari mingguan Len Po yang menulis novel tentang kematian Fientje. Novel tersebut terbit di Batavia tahun 1915.

Novel tersebut laris manis dan dicetak hingga berulang-ulang kali. Tan memberinya judul, "Fientje de Feniks atawa djadi korban dari tjemboeroean."

Tan juga menerbitkan buku keduanya pada tahun 1916. Ia berikan judul yang sangat panjang; "Sair nona Fientje de Feniks dan sakalian ia poenja korban jang benar terdjadi di Betawi antara taon 1912-1915."

Selain Tan Boen Kim, adalah Tjiong Koen Bie yang menulis buku setebal 146 halaman. Buku yang diterbitkan pada tahun 1915 ini, diberikan judul, "Nona Fientje de Feniks"

Sama seperti buku karangan Tan, buku ciptaan Tjiong ini juga laku keras. Penekanannya kepada kisah nyata di tanah Betawi. 

"Soewatoe kejadian yang betoel terjadi di tanah Betawi."

Tak kalah dengan Kesusteraan Melayu Tionghoa, kisah tragedi Fientje ini juga diulas oleh pengarang Belanda. Peter van Zonneveld menuliskannya dalam buku setebal 75 halaman yang berjudul "De moord op Fientje de Feniks: een Indische Tragedie." 

Namun, di antara semuanya adalah novel Rumah Kaca (1988) yang paling terkenal. Buku ini dikarang oleh maestro sastra Indonesia, Pramoedya Ananta Tour.

Ia tidak secara implisit menuliskan ulang kisah nyata Fientje, tetapi hanya digunakan untuk membangun keseluruhan alur cerita di novel Rumah Kaca. Pramoedya mengubah nama Fientje de Feniks menjadi Rientje de Roo. Brinkman menjadi Jacques Pangemanan.

Foto Pramoedya Ananta Tour (sumber: cnnindonesia.com)
Foto Pramoedya Ananta Tour (sumber: cnnindonesia.com)
Fientje de Feniks, meskipun tidak dikenal luas oleh masyarakat Indonesia, tetapi kisahnya akan selalu menjadi inspirasi bagi keadilan yang terkuak. Ia terkenal di zamannya karena didaulat sebagai pelacur kelas atas. Mirisnya, justru kematian menggenaskan yang menegaskan predikat tersebut.

Potret kejadian 100 tahun yang silam masih terbenam hingga menjadi warisan. Prostitusi memang telah berada di bumi Nusantara jauh sebelum Indonesia ada. Para pelacur selalu mendapat lambang sebagai sampah masyarakat, tapi eksistensi mereka adalah simbol dari sikap sampah sosial. 

Seorang Belanda terhormat, kaya, dan berpengaruh tidak akan menyangka bahwa status bukan segalanya. Ia harus merenggang nyawa demi seorang pelacur pribumi.

Meski keadilan sudah ditegakkan, Fientje-Fientje baru akan selalu bermunculan. Hingga pada akhirnya keadilan adalah;

"Hidup yang berarti, dan mati lebih berharga lagi." ~ Pramoedya Ananta Toer.

 

Referensi: 1 2 3 4 5

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun