Atas aksinya ini, Liem dijebloskan ke penjara karena dianggap provokator. Namun ia dibebaskan karena adanya tuntutan dari para anggota Volksraad (perwakilan rakyat) Batavia.
Pasca kebebasan dan keberhasilannya dalam aksi boikot, nama Liem mulai dikenal. Ia kemudian mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Gerakan ini kemudian menginspirasi berdirinya Partai Arab Indonesia (PAI) yang salah satu pendirinya adalah AR. Baswedan (kakek dari Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta).
Sejak aksi boikot yang dilakukan oleh Liem, AR Baswedan sudah mengenal baik dirinya. Ia kemudian bergabung dengan Sin Tit Po, koran asuhan Liem.
Didi Kwartanada menyebutkan; "Bisa dibilang AR Baswedan murid dari Liem Koen Hian. Ia ingin mengalihkan orang-orang Arab yang berkiblat ke Hadramaut menjadi berkiblat ke Indonesia. Di Sin Tit Po, mereka sangat guyub. Ada chemistry. Karena cita-cita perjuangan yang sama, ingin Indonesia merdeka dan isu agama belum merasuk sampai ke hubungan inter-personal."  Â
Akan tetapi sifat temperamental Liem membuat dirinya memiliki banyak musuh. Orang Tionghoa yang memihak kepada Belanda atau berkiblat pada tanah leluhur. Citranya juga dirusak oleh media yang berbasis kolonial, maupun Tionghoa-Melayu yang memusuhinya.
Koran kolonial mencap Liem sebagai tukang hasut, pemberontak, komunis, dan lain sebagainya. Sementara koran lokal memberinya label sebagai nasionalis China palsu.
Ia bahkan pernah bersitegang dengan dr. Soetomo yang mencapnya terlalu over reaksi dengan pendudukan Jepang, karena terpengaruh dengan penjajahan Jepang di negeri China. Dr. Tjipto Mangunkusumo bahkan sampai harus merelainya dengan mengatakan bahwa;
"Liem adalah orang Indonesia tanpa peci dan jangan meragukan nasionalismenya."
Masa pendudukan Jepang berakhir, dan Indonesia memiliki kesempatan untuk mempersiapkan kemerdekaan. Liem tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).