"Indonesia adalah negeri jang terdiri dari semoea orang jang menganggap Hindia Belanda sebage tanah-aer mereka dengen aktif membantoe membangoen negara ini. Peranakan adalah satoe integral jang tida terpisahken dari bangsa itoe."
Sebagai wartawan, Ia menjadi salah satu orang Tionghoa pertama yang mengkritik Belanda melalui media. Baginya, tindakan ini memiliki dua implikasi penting. Yang pertama tentunya adalah menyerang penjajah, dan yang kedua adalah menunjukkan kepada kawan-kawan Bumiputera, bahwa golongan Timur Asing juga memiliki kepedulian yang besar terhadap kemerdekaan Indonesia.
Bukannya tanpa alasan, sejak Indische Partij didirkan dan bubar, tidak ada lagi partai politik yang mengakomodasi peranakan (Tionghoa dan Arab). Bahkan Partai Nasionalis Indonesia (PNI), hanya menerima golongan pribumi, sementara etnis Tionghoa hanya bisa tergabung sebagai anggota luar biasa. Hal ini bahkan dimasukkan ke dalam AD/ART partai.Â
Baca juga: Mata yang Tidak Lagi Sipit Sejak Sumpah Pemuda Dikumandangkan
Satu langkah konkritnya yang paling fenomenal adalah melawan Belanda melalui sepak bola. Ia menggalang pemboikotan perhelatan pertandingan sepak bola di Surabaya. Sejak PSSI terbentuk pada tahun 1930, ia telah menjadi cabang olahraga yang menyedot banyak perhatian.
Liem memanfaatkan ajang ini untuk dijadikan sebagai alat politik dan meneguhkan ide awal dari Indonesierschap besutannya. Liem memaksimalkan media Sin Tit Po yang diasuhnya untuk menggalang dukungan. Â
Melalui Comite Van Actie Persatoean Bangsa Asia, ia menyerukan pemboikotan kompetisi Stedenwedstridjen, liga sepak bola antar klub kota milik Hindia Belanda.
Semuanya dimulai sejak seorang jurnalis surat kabar D'Orient yang bernama Bekker mengeluarkan larangan diskriminatif bahwa wartawan kulit berwarna tidak boleh meliput ajang kompetisi sepak bola tersebut. Hal ini dimungkinkan, karena Bekker juga merupakan petinggi SVB (Soerabaiasch Voetbalbond), milik Hindia Belanda.
Provokasi Liem melalui Sin Tit Po sukses, lantaran golongan peranakan Arab juga akhirnya marah dengan kebijakan rasis Beker yang dianggap mewakili keputusan kaum kolonial.
Surat kabar lainnya seperti Soeara Oemoem, yang dipimpin Soetomo, dan Aljaum, koran besutan kaum Arab pun ikutan memboikot. Aksi ini juga diperkuat oleh Radjamin Nasution yang memimpin SIVB (liga sepak bola milik kaum pribumi). Langkah boikot dianggap sukses setelah pertandingan sepak bola Stedenwedstrijden sepi penonton, dan SIVB justru menjadi ramai.
Menariknya, SIVB yang kebanjiran untung kemudian menyumbangkan sebagian pendapatannya kepada berbagai yayasan sosial milik Tionghoa, Muahammadyah, dan juga kaum Belanda untuk pengentasan kemiskinan, pengangguran, penyantunan anak yatim, dan poliklinik kesehatan.