Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Liem Koen Hian, Keturunan Tionghoa yang Memperdjoeangkan Kewarganegaraan Indonesia

10 November 2020   12:56 Diperbarui: 10 November 2020   13:04 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Liem Koen Hian (sumber: amp.tirto.id)

Sejarawan Didi Kwartanada melihat bahwa, "peristiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 menjadi momen baru untuk bebas dari belenggu penjajahan. Namun kemerdekaan tak serta-merta dirasakan dengan kebahagiaan untuk orang-orang Tionghoa."

Sejarah bangsa tidak terlepas dengan proses asimilasi bangsa Tionghoa, Arab, dan juga India di republik ini. Di satu sisi, sebuah tatanan baru tentang kedaulatan. Di sisi lain, keresahan sebagai minoritas dan status kebangsaan.

Pemikiran ini terbentuk bukan tanpa alasan. Kaum penjajah menempatkan mereka sebagai golongan "timur asing." Posisi tanggung yang berada di antara orang-orang Belanda dan Bumiputera.

Sebagai golongan timur asing, kalangan Tionghoa sendiri juga terbagi tiga golongan dalam pergerakan menuju cita-cita berbangsa. Ada yang berkiblat ke negeri leluhur, ada yang berpihak kepada pemerintah Hindia Belanda, dan ada yang menuju kepada Indonesia Merdeka.

Mereka yang berada pada golongan ketiga, juga memiliki kontribusi yang cukup besar dalam sejarah revolusi bangsa, meskipun jarang terdengar. Salah satunya adalah Liem Koen Hian.

Sejak kecil ia telah menunjukkan sifat yang agresif dalam membela ketidakadilan. Ia sangat idealis, tidak suka melihat ketimpangan dalam masyarakat, dan tidak segan dengan lantang mewujudkan pendapatnya.

Pria kelahiran Banjarmasin, 3 November 1897 ini, bahkan dikeluarkan dari ELS (Europeesche Legere School) karena menantang gurunya orang Belanda berkelahi.

Pada usianya yang ke-18, Liem merantau ke Surabaya. Di sana ia bekerja sebagai wartawan di surat kabar Tjhoen Tjioe. Liem menemukan gairahnya sendiri, dan kiprahnya di dunia jurnalis kemudian membuat ia menerbitkan sendiri bulanan Soe Liem Poo di tahun 1917, mengasuh Sinar Soematra (1917-1923) di Medan, kembali ke Surabaya dan bergabung dengan koran Pewarta Soerabaja (1921-1925), mendirikan harian Soeara Poeblik (1925-1929), hingga menjadi pimred surat kabar Sin Tit Po (1929-1932).

Sejak 1928, Liem telah memiliki keinginan yang besar untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Idenya ini banyak terpengaruh dari mentor politiknya, dr. Tjipto Mangunkusumo. Ia menganggap bahwa nilai luhur kemerdekaan dapat menyatukan sekelompok orang ke dalam satu entitas, satu bangsa, tanpa memandang suku, ras, dan agama.

Di tahun 1928, ia menuliskan ide kebangsaannya "Indisch Burgesrchap" atau "Indonesierschap" yang berarti Kewarganegaraan Indonesia. Isinya berbunyi;

"Indonesia adalah negeri jang terdiri dari semoea orang jang menganggap Hindia Belanda sebage tanah-aer mereka dengen aktif membantoe membangoen negara ini. Peranakan adalah satoe integral jang tida terpisahken dari bangsa itoe."

Sebagai wartawan, Ia menjadi salah satu orang Tionghoa pertama yang mengkritik Belanda melalui media. Baginya, tindakan ini memiliki dua implikasi penting. Yang pertama tentunya adalah menyerang penjajah, dan yang kedua adalah menunjukkan kepada kawan-kawan Bumiputera, bahwa golongan Timur Asing juga memiliki kepedulian yang besar terhadap kemerdekaan Indonesia.

Bukannya tanpa alasan, sejak Indische Partij didirkan dan bubar, tidak ada lagi partai politik yang mengakomodasi peranakan (Tionghoa dan Arab). Bahkan Partai Nasionalis Indonesia (PNI), hanya menerima golongan pribumi, sementara etnis Tionghoa hanya bisa tergabung sebagai anggota luar biasa. Hal ini bahkan dimasukkan ke dalam AD/ART partai. 

Baca juga: Mata yang Tidak Lagi Sipit Sejak Sumpah Pemuda Dikumandangkan

Satu langkah konkritnya yang paling fenomenal adalah melawan Belanda melalui sepak bola. Ia menggalang pemboikotan perhelatan pertandingan sepak bola di Surabaya. Sejak PSSI terbentuk pada tahun 1930, ia telah menjadi cabang olahraga yang menyedot banyak perhatian.

Liem memanfaatkan ajang ini untuk dijadikan sebagai alat politik dan meneguhkan ide awal dari Indonesierschap besutannya. Liem memaksimalkan media Sin Tit Po yang diasuhnya untuk menggalang dukungan.  

Melalui Comite Van Actie Persatoean Bangsa Asia, ia menyerukan pemboikotan kompetisi Stedenwedstridjen, liga sepak bola antar klub kota milik Hindia Belanda.

Semuanya dimulai sejak seorang jurnalis surat kabar D'Orient yang bernama Bekker mengeluarkan larangan diskriminatif bahwa wartawan kulit berwarna tidak boleh meliput ajang kompetisi sepak bola tersebut. Hal ini dimungkinkan, karena Bekker juga merupakan petinggi SVB (Soerabaiasch Voetbalbond), milik Hindia Belanda.

Provokasi Liem melalui Sin Tit Po sukses, lantaran golongan peranakan Arab juga akhirnya marah dengan kebijakan rasis Beker yang dianggap mewakili keputusan kaum kolonial.

Surat kabar lainnya seperti Soeara Oemoem, yang dipimpin Soetomo, dan Aljaum, koran besutan kaum Arab pun ikutan memboikot. Aksi ini juga diperkuat oleh Radjamin Nasution yang memimpin SIVB (liga sepak bola milik kaum pribumi). Langkah boikot dianggap sukses setelah pertandingan sepak bola Stedenwedstrijden sepi penonton, dan SIVB justru menjadi ramai.

Menariknya, SIVB yang kebanjiran untung kemudian menyumbangkan sebagian pendapatannya kepada berbagai yayasan sosial milik Tionghoa, Muahammadyah, dan juga kaum Belanda untuk pengentasan kemiskinan, pengangguran, penyantunan anak yatim, dan poliklinik kesehatan.

Atas aksinya ini, Liem dijebloskan ke penjara karena dianggap provokator. Namun ia dibebaskan karena adanya tuntutan dari para anggota Volksraad (perwakilan rakyat) Batavia.

Foto AR Baswedan dan Liem Koen Hian (sumber: kompasiana.com)
Foto AR Baswedan dan Liem Koen Hian (sumber: kompasiana.com)

Pasca kebebasan dan keberhasilannya dalam aksi boikot, nama Liem mulai dikenal. Ia kemudian mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Gerakan ini kemudian menginspirasi berdirinya Partai Arab Indonesia (PAI) yang salah satu pendirinya adalah AR. Baswedan (kakek dari Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta).

Sejak aksi boikot yang dilakukan oleh Liem, AR Baswedan sudah mengenal baik dirinya. Ia kemudian bergabung dengan Sin Tit Po, koran asuhan Liem.

Didi Kwartanada menyebutkan; "Bisa dibilang AR Baswedan murid dari Liem Koen Hian. Ia ingin mengalihkan orang-orang Arab yang berkiblat ke Hadramaut menjadi berkiblat ke Indonesia. Di Sin Tit Po, mereka sangat guyub. Ada chemistry. Karena cita-cita perjuangan yang sama, ingin Indonesia merdeka dan isu agama belum merasuk sampai ke hubungan inter-personal."    

Akan tetapi sifat temperamental Liem membuat dirinya memiliki banyak musuh. Orang Tionghoa yang memihak kepada Belanda atau berkiblat pada tanah leluhur. Citranya juga dirusak oleh media yang berbasis kolonial, maupun Tionghoa-Melayu yang memusuhinya.

Koran kolonial mencap Liem sebagai tukang hasut, pemberontak, komunis, dan lain sebagainya. Sementara koran lokal memberinya label sebagai nasionalis China palsu.

Ia bahkan pernah bersitegang dengan dr. Soetomo yang mencapnya terlalu over reaksi dengan pendudukan Jepang, karena terpengaruh dengan penjajahan Jepang di negeri China. Dr. Tjipto Mangunkusumo bahkan sampai harus merelainya dengan mengatakan bahwa;

"Liem adalah orang Indonesia tanpa peci dan jangan meragukan nasionalismenya."

Masa pendudukan Jepang berakhir, dan Indonesia memiliki kesempatan untuk mempersiapkan kemerdekaan. Liem tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Keterlibatan Liem pada BPUPKI (sumber: majalah.tempo.co)
Keterlibatan Liem pada BPUPKI (sumber: majalah.tempo.co)

Nah, di sini terjadilah titik balik dalam perjuangannya. Ia sangat kecewa ketika usulannya ditolak oleh para koleganya, yaitu "keturunan Tionghoa yang berada di Indonesia otomatis mendapatkan status Warga Negara Indonesia." Ia kemudian mengundurkan diri dari kepanitiaan dengan penuh rasa frustasi.  

Rekan sejawatnya AR. Baswedan juga mengalami hal yang sama, meskipun ia pernah menjabat sebagai Menteri Muda Penerangan masa kabinet Syahrir, dan anggota dewan, ia tetap dipersulit mengurus surat-suratnya.

Kabar mengenai dirinya sempat naik pitam ketika seorang pegawai kantor pos di Yogya menanyakan surat kewarganegaraanya, padahal jelas-jelas ia sudah menyodorkan kartu anggota DPR. Setelah mengamuk, akhirnya surat itu keluar juga dengan tulisan "Warga Indonesia Keturunan Arab."

Baik Liem maupun Baswedan sama-sama mengalami problema klasik dari negara ini. Akan tetapi mereka menempuhnya dengan cara berbeda. Liem yang temperamental serta-merta mengambil jalan keras, sementara Baswedan yang lebih sabar dengan tetap berada pada jalur perjuangan untuk mendapat hak kewarganegaraanya.

Setelah Indonesia merdeka, Liem bahkan pernah dijebloskan ke penjara tanpa diadili. Kala itu, ketika Perdana Menteri Soekiman melakukan razia, ia dituduh sebagai simpatisan komunis dan dijebloskan ke Cipinang pada tanggal 16 Agustus 1951 hingga 29 Oktober 1951. Itupun karena kondisinya yang sakit-sakitan.

Karena kecewa berat dan ditambah lagi teman seperjuangannya di PTI diperlakukan dengan tidak adil, Liem akhirnya memutuskan sebagai martir. Saat hari kemerdekaan Republik Rayat China, ia mengibarkan bendera RRC di depan rumahnya. Sontak kejadian ini bikin heboh.

Akan tetapi, Liem melakukannya sendiri dan meminta agar teman-teman seperjuangan yang lain tidak mengikutinya. Liem wafat kurang lebih setahun kemudian pada tanggal 4 November 1952.

Menurut Didi Kwartanada, jejak perjuangan Liem Koen Hian hilang bak ditelan bumi. Namanya tidak tercatat sebagai anggota BPUPKI dalam Sejarah Nasional Indonesia I. Yang tertulis hanyalah empat golongan China dan empat golongan Arab.

Hingga kini, Sejarah Nasional Indonesia Edisi ke-VI terbit di tahun 2012. Nama Liem pun masih tidak muncul, begitu pula pencantuman golongan Tionghoa yang hilang sejak Sejarah Nasional Indonesia edisi II diterbitkan.

Didi Kwartanada bersama Taufiq Tanasaldi telah mengajukan perubahan kepada Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI saat ini, Hilmar Farid. Entah bagaimana kelanjutannya, penulis kurang mendapatkan informasi.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk memprovokasi apalagi dibuat atas dasar kekecewaan. Sejarah adalah sesuatu yang tidak bisa dirubah. Memang mencerminkan fakta masa lalu, namun tidak lagi merefleksikan kondisi saat ini.

Yang bisa kita petik dari sini, hanyalah sebuah kisah, bahwa Indonesia adalah negara yang dibentuk dari pluralisme. Apapun yang sudah terjadi harus disikapi dengan bijaksana, tanpa harus menghilangkan kecintaan terhadap bangsa dan negara.

Semoga sejarah bangsa dapat menjadi sebuah pelajaran berharga bagi kita semua.

Selamat Hari Pahlawan 2020

Jayalah Bangsaku, Jayalah Indonesia

Referensi: 1 2 3 

SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun